Berita Terkini

MINGGU TETAP BUKA, BENOWO DAN MULYOREJO KURANG PENDAFTAR

Antusiasme warga Surabaya untuk turut berpartisipasi dalam penyelenggaraan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Surabaya periode 2015-2020 patut diacungi jempol. Pendaftar Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) seluruh Kota Surabaya sampai dengan pukul 16.00 mencapai 255 pendaftar (selengkapnya lihat grafis). Namun, pendaftar di Kecamatan Benowo dan Mulyorejo hanya empat orang. Padahal, jumlah PPK yang dibutuhkan lima orang. Komisioner KPU Kota Surabaya Bidang Hukum dan Sumber Daya Manusia Purnomo Satriyo Pringgodigdo, S.H., M.H. mengungkapkan, KPU Kota Surabaya masih menerima pendaftaran PPK sampai dengan hari ini (26/4). Pendaftaran dilaksanakan di Kantor KPU Kota Surabaya Jl Adityawarman No 87. “Kami tetap melayani pendaftar sampai pukul 16.00,” ucap Purnomo.

BATIK, KEBAYA, DAN SANGGUL DI HARI KARTINI KITA

21 April 2015 terdapat pemandangan yang tidak biasa di KPU Kota Surabaya. Ya, segenap jajaran KPU dan Sekretariat kompak mengenakan busana khas nusantara dalam rangka memperingati Hari Kartini. Para perempuan menggunakan kebaya dan sanggul sedangkan laki-laki menggunakan pakaian batik. Selain untuk menguatkan keindonesiaan kita, hal ini dimaksudkan sebagai sebuah refleksi diri terhadap arti penting perjuangan atau emansipasi perempuan dan kesetaraan gender. Emansipasi yaitu dalam hal pemenuhan kembali hak-hak dasar yang sebelumnya dirampas atau bahkan diabaikan dari kaum perempuan. Kesetaraan gender dalam artian suatu tatanan kesetaraan yang tidak membedakan antara peran laki-laki dan perempuan terkait dengan hak-haknya dalam ranah publik seperti dalam bidang hukum, politik, pendidikan, dan bidang lainnya. Kartini, melalui perjuangannya dalam mencerdaskan dan menuntut hak yang sama atas pendidikan kaum perempuan Indonesia pada masa kolonial telah membuktikan diri bahwa emansipasi perempuan dapat diwujudkan meski dengan semua keterbatasan dan sistem sosial yang tidak mendukung. Tidak hanya Kartini, ada banyak tokoh perempuan Indonesia yang berjuang secara damai di era kolonial, sebut saja Rohana Kudus di bidang jurnalistik, Rasuna Said yang ditangkap Belanda karena kritik kerasnya terhadap pemerintah saat itu. Jauh sebelumnya kita juga sudah familiar dengan nama-nama Malahayati dari Aceh, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Martha C. Tiahahu. Pada tahun 1982, John Naisbitt dan Patricia Aburdune dalam bukunya ‘Megatrends 2000’ meramalkan bahwa perempuan akan mengambil semua peran dalam berbagai lini kehidupan. Ramalan tersebut menemukan tempatnya di era globalisasi dimana dedomestifikasi menjadi mainstream dan keterlibatan perempuan di sektor publik meningkat pesat terutama dengan kemampuan menduduki posisi-posisi penting yang sebelumnya identik sebagai domain kaum laki-laki. Dalam konteks demokrasi dan politik di Indonesia, melalui serangkaian regulasi yang mengatur penyelenggaraan pemilu yang mensyaratkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan merupakan bentuk affirmative action untuk menjamin representasi perempuan dalam politik. Tujuannya adalah untuk meningkatkan partisipasi perempuan di lembaga-lembaga politik sehingga kaum perempuan dapat menyalurkan aspirasinya dan lebih berperan aktif dalam perumusan kebijakan nasional untuk menghindari kebijakan-kebijakan yang diskriminatif. Dengan semua dukungan institusional terhadap kaum perempuan untuk mewujudkan equality in diversity, ada baiknya kita meneladani apa yang diutarakan oleh Vandana Shiva bahwa feminisme yang dikembangkan seyogyanya adalah dengan memerankan kualitas feminisme yang baik. Kiprah perempuan dalam ranah publik tidak mengharuskannya menjadi seorang maskulin, tetapi aktualisasi kualitas feminimnya adalah warna tersendiri dalam kebersamaan tersebut, saling peduli, memelihara dan menjaga semua kebaikan-kebaikan hakiki tersebut.

ENIGMA PEMILIHAN KEPALA DAERAH | MAJALAH HALOKPU EDISI II 2014

EDITORIAL Sama halnya seperti yang horatius bilang, langkah awal memang tidak mudah tapi tidak ada yang tidak mungkin; langkah kedua kami dalam menerbitkan HALOKPU tidak jauh berbeda, mungkin tidak cukup hanya dengan semangat heba t saja tapi perlu penguatan etos juga untuk menjaga elan media ini tetap dalam narasi agung penguatan wacana kepemiluan dan demokratisasi di masyarakat. Dalam edisi kedua ini, kami menampilkan sebuah enigma atau katakanlah absurditas perdebatan model pemilihan kepala daerah apakah dipilih langsung oleh rakyat atau diwakilkan oleh rakyat kepada parlemen di tingkatan daerah. Tidak banyak yang kami ulas, selain hanya untuk menjadikannya sebuah friksi sebab bagi kami permasalahan mendasarnya adalah bagaimana menjadikan demokrasi dan demokratisasi itu tidak prosedural an sich, tapi lebih kepada bagaimana menjadikannya substantif dalam membangun rasionalitas politik masyarakat. Seperti edisi sebelumnya, kami menelaahnya dalam perspektif yang berbeda dalam rubrik ‘dialog’. Dinamika Surabaya menampilkan kaleidoskop pemilu tahun 2014 di Surabaya, yaitu pemilu legislatif dan pemilu presiden dan wakil presiden. Kami mengemasnya dalam tagline ‘Surabaya Dalam Angka’. Hal ini tidak lain untuk memenuhi kebutuhan data kepemiluan di Surabaya yang peminatnya semakin banyak dan kompleks. Mengemas hasil pemilu dalam bentuk grafik dan tabel diharapkan dapat membantu masyarakat untuk mendapatkan informasi yang diperlukan, selain juga bentuk transparansi informasi. At least, seperti mata air yang tak pernah kering, mengalir tak berkesudahan, inilah langkah kedua dari kami untuk anda. Bacalah.

MENAKAR PARTISIPASI POLITIK PEMILIH PEMULA (PILKADA SURABAYA 2015)

Written by Nur Syamsi – Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Pengembangan Informasi KPU Kota Surabaya Partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau sekelompok orang untuk ikut serta aktif dalam kegiatan politik yang bisa dilakukan dengan cara berpartisipasi langsung dalam memilih pimpinan maupun secara tidak langsung mempengaruhi kebijakan publik. Ramlan Surbakti memberikan definisi singkat mengenai partisipasi politik sebagai bentuk keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan segala keputusan yang menyangkut atau mempengaruhi hidupnya (Surbakti, 1999:140). Milbrath dan Goel (dalam Surbakti 1999:143) membedakan partisipasi menjadi beberapa kategori berikut : Pertama, apatis. Artinya orang yang tidak berpartisipasi dan menarik diri dari proses politik. Kedua, spektator. Artinya, orang yang setidak-tidaknya pernah ikut memilih dalam pemilihan umum. Ketiga, gladiator. Artinya mereka yang secara aktif terlibat dalam proses politik, yakni komunikator, spesialis mengadakan kontak tatap muka, aktivis partai dan pekerja kampanye dan aktivis masyarakat. Keempat, pengritik, yakni dalam bentuk partisipasi tidak konvensional. Partisipasi politik dapat bersifat perorangan (individual) misalnya melakukan kritik dan memberi masukan terhadap kebijakan publik baik dilakukan dengan cara menulis di media ataupun dilakukan secara langsung menyampaikan kritik dan saran kepada pengambil kebijakan. Selain itu, partisipasi politik bersifat kelompok terorganisir (LSM, Parpol, ormas, maupun organisasi kepemudaan dan organisasi kemahasiswaan). Misalnya, kita terbiasa melihat aksi organisasi mahasiswa atau kelompok masyarakat yang melakukan unjuk rasa menyuarakan berbagai tuntutan kepada pemerintah. Di dalam konteks pemilu partisipasi politik dapat kita bedakan menjadi dua katagori yaitu partisipasi pasif dan partisipasi aktif/substantif. Pertama, partisipasi pasif adalah kegiatan memilih oleh partisan karena dimobilisir oleh individu atau kelompok tertentu dalam rangka meraih suara partisan. Kedua, partisipasi aktif/substantif adalah kegiatan memilih partisan yang didasari karena kesadaran bahwa pilihannya akan mampu menyalurkan aspirasi partisan. Keduanya sama-sama dalam kerangka partisipasi politis kelompok atau individu, Tetapi keduanya mempunyai perbedaan yang sangat kuat pada tataran prinsip dari pada realitas. Bahkan, tidak jarang partisan aktif turut serta dalam proses pengawasan suara dengan cara yang memungkinkan dilakukan. Menilik realitas yang terjadi, pemilih dalam menggunakan hak pilihnya bisa dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, karena kesamaan latar belakang agama, pada beberapa kelompok pemilih kesamaan agama antara si pemilih dengan orang yang akan dipilih menjadi dasar pertimbangan khusus karena merasa punya kebanggaan atau kesamaan persepsi dan doktrin tentang syarat pemimpin. Kedua, karena kesamaan latar belakang asal daerah, pemilih kadang merasa bangga jika pemimpin yang akan memimpin suatu daerah adalah orang yang satu daerah dan diharapkan bisa mewakili aspirasinya. Ketiga, karena pemimpin yang dipilih adalah putra daerah, pertimbangan pilihan ini juga sangat logis dan cenderung menjadi trend karena putra daerah diasumsikan orang yang banyak tahu persoalan daerah yang akan dipimpin. Keempat, karena berpengalaman memimpin, pengalaman memimpin sangat terkait dengan kecakapan bagimana mempimpin suatu daerah sehingga percepatan-percepatan pembangunan suatu daerah bisa dioptimalkan. Faktor ini juga kadang menjadi kunci keberhasilan seorang calon karena kepemimpinannya sudah dirasakan oleh masyarakat sehingga masyarakat lebih mudah menjatuhkan pilihannya. Kelima, karena tingkat pendidikan calon, tidak bisa dipungkiri bahwa tingkat pendidikan adalah salah satu cermin kecerdasan seseorang. Di dalam memimpin suatu daerah dibutuhkan kecerdasan dalam mengelola kemajemukan di masyarakat. Keenam, karena tingkat ekonomi calon, di sebagian masyarakat tingkat ekonomi calon dianggap bahwa calon dengan tingkat ekonomi yang tinggi akan mengurangi resiko calon terjebak dalam tindakan koruptif. Lalu dimanakah posisi strategis pemilih pemula? Di dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) No. 01 Tahun 2014 pasal 56 ayat (1) berbunyi, “Orang Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah menikah/kawin, mempunyai hak memilih”. Jika ditelusuri orang yang berumur 17 tahun adalah mereka para pelajar SMU atau mahasiswa tingkat awal dengan jumlah yang cukup besar. Berdasarkan katagori umur, maka karakteristik yang dimiliki oleh pemilih pemula yaitu belum pernah memilih atau melakukan penentuan suara di dalam TPS, belum memiliki pengalaman memilih, memiliki antusiasme yang tinggi, kurang rasional, pemilih muda yang masih penuh gejolak dan semangat, memiliki rasa ingin tahu, mencoba, dan berpartisispasi dalam pemilu, meskipun kadang dengan berbagai latar belakang yang berbeda. Berdasarkan populasi penduduk, data pemilih pemula secara nasional untuk Pileg dan Pilpres sebesar 20% dari total DPT dan untuk Pilpres sebesar 20%. Sedangkan data pemilih pemula di Kota Surabaya untuk pemilu legislatif 2014 adalah 3,98% dari total jumlah pemilih. Data pemilih pemula di kota Surabaya untuk pemilu presiden 2014 sebesar 4,17% dari total jumlah pemilih. Jika ditarik benang merah antara karakter dan jumlah pemilih pemula yang cukup besar, maka pemilih pemula merupakan medan magnet yang mempunyai daya tarik kuat bagi peserta pemilu untuk mendongkrak suara. Dengan demikian bisa dipahami jika masing peserta pemilu akan menyiapkan strategi khusus untuk mampu menarik minat dan perhatian para pemilih pemula. Sebuah medan magnet yang kuat dengan daya tarik yang kuat pula dari berbagai peserta pemilu, maka pemilih pemula membutuhkan pengetahuan bagaimana saling tarik menarik itu bisa menjadi harmoni. Terdapat beberapa tips pemilih pemula yang cerdas agar pilihannya jatuh kepada pusaran pilihan yang tepat. Pertama, menata orientasi dan pemahaman bahwa berpartisipasi untuk memilih dalam pemilihan adalah sesuatu yang sangat penting bagi keberlangsungan dan masa depan pembangunan. Karena pemimpin yang akan dilahirkan dari hasil pemilihan inilah yang akan melakukan pengambilan kebijkan-kebijakan strategis yang pasti akan berpengaruh terhadap nasib masyarakat baik langsung maupun tidak langsung. Kedua, mengetahui dan memastikan bahwa pemilih telah terdaftar pada daftar pemilih sementara, jika belum terdaftar maka pemilih harus mendaftarkan diri kepada petugas pendaftaran pemilih yang ada dilingkungan sekitar. Ketiga, jika sudah pasti terdaftar dalam pemilih, maka pastikan dimana pemilih tersebut bisa melakukan pemilihan/pencoblosan. Keempat, mengenali sosok dan latar belakang peserta pemilu, mengenali sosok dan latar belakang menjadi penting untuk bisa derajat integritas peserta pemilu, bagaimana rekam jejak dan keberhasilan seorang atau partai politik dalam mengemban kepemimpinan di tempat sebelumnya. Kelima, mengetahui visi dan misi peserta, mengetahui visi dan misi peserta pemilu akan memudahkan pemilih pemula dalam menentukan pilihan yang mampu mewakili dan mewujudkan harapan akan masa depan pemilih. visi misi peserta pemilu akan disampaikan pada saat kampanya baik kampanye tertutup maupun terbuka. Keenam, menggunakan hak pilih pada hari pemungutan suara sesuai dengan hati nurani dan pilihannya. Ketujuh, melakukan pengawasan terhadap proses perhitungan suara untuk memastikan bahwa tidak ada suara yang hilang. Posisi strategis pemilih pemula dalam pemilihan kepala daerah kota Surabaya Data KPU Kota Surabaya Surabaya pada pemilihan kepala daerah tahun 2010 menunjukkan jumlah pemilih terdaftar sebesar 2.145.263 pemilih, dengan tingkat partisipasi sebesar 43,46%. Dari jumlah tersebut, terdapat pemilih pemula sebesar 8,6%. Itu berarti pemilih pemula akan memegang peranan strategis jika masing-masing pemangku kepentingan mampu mengoptimalkan peran serta pemilih pemula plus ada kesadaran dan pengetahuan bersama pada pemilih pemula akan pentingnya pemilihan kepala daerah. Tidak akan jauh berbeda dari tahun 2010, pemilihan kepala daerah tahun 2015 jika dilaksanakan secara langsung maka akan menempatkan kembali posisi pemilih pemula pada tempat yang strategis. Kerjasama antar pemerintah daerah, partai politik dan penyelenggara pemilihan secara sinergi diperlukan dalam rangka optimalisasi peran serta pemilih pemula sehingga tingkat partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah tahun 2015 bisa ditingkatkan.