Berita Terkini

PILKADA DALAM REZIM PEMILIHAN: CATATAN DISKUSI

Dipresentasikan oleh Radian Salman, SH., L.L.M – Pengajar Fakultas Hukum Universitas Airlangga Perppu Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (Pilkada) telah diundangkan menjadi Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015, dengan lembaran negara nomor 23, dan tambahan lembaran negara nomor 5656 tertanggal 2 Februari 2014. Sementara itu, Perppu Nomor 2 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah telah menjadi Undang-undang Nomor 2 Tahun 2014, dengan lembaran negara nomor 24, dan tambahan lembaran negara nomor 5657. Salah satu persoalan yang menjadi bahasan dalam rapat terbatas Komisi II DPR adalah terkait dengan penyelenggara Pilkada, dikarenakan dalam undang-undang tersebut Pilkada tidak lagi menjadi bagian dari rezim Pemilu. Selama ini Pilkada ditafsirkan sebagai bagian dari rezim Pemilu, oleh sebab itu penyelenggaraannya dilaksanakan oleh KPU. Akar permasalahan ini dapat dirunut dalam konstitusi kita, yaitu pasal 22E ayat 2 UUD 1945 disebutkan bahwa: Pemilihan umum diselenggarakan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil    Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah ***).  Pada sisi lain pemilihan kepala daerah diatur dalam Pasal  18 ayat (4) yaitu: Gubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai  Kepala  Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara  demokratis. **). Penafsiran formil terhadap permasalahan tersebut dapat mengacu pada Putusan MK No. 072-073/PUU-II/2004 yang salah satu bahasannya adalah Pembuat undang-undang dapat saja memastikan bahwa Pilkada langsung itu merupakan perluasan pengertian Pemilu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22E UUD 1945, oleh karena itu perselisihan mengenai hasilnya menjadi bagian dari kewenangan Mahkamah Konstitusi dengan ketentuan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Namun pembentuk undang-undang juga dapat menentukan bahwa Pilkada langsung itu bukan Pemilu dalam arti formal yang disebut dalam Pasal 22E UUD 1945 sehingga perselisihan hasilnya ditentukan sebagai tambahan kewenangan Mahkamah Agung sebagaimana dimungkinkan Pasal 24A ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi, “Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh undang-undang”. Kemudian dalam Putusan MK No. 97/PUU-XI/2013 dalam pengujian UU No. 32 Tahun 2004 (dan perubahannya), terutama dalam kaitan dengan Pasal  “ ….telah nyata bahwa sesungguhnya kebijakan untuk menerapkan Pasal 18 ayat (4) UUD 1945, khususnya frasa “dipilih secara demokratis”  bagi kepala daerah (Gubernur, Bupati,  Walikota) adalah merupakan  opened legal policy bagi pembentuk undang-undang.“ ….menurut Mahkamah, penambahan kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk mengadili perkara perselisihan hasil pemilihan kepala daerah dengan memperluas makna pemilihan umum yang diatur Pasal 22E UUD 1945 adalah inkonstitusional” (Vide putusan MK No. 1-2/PUU-XII/2014 dan UU MK yang tidak memberikan kewenangan PH Pilkada). MK secara tegas menyatakan bahwa penafsiran terhadap Pilkada apakah menjadi bagian dari rezim Pemilu atau tidak merupakan opened legal policy bagi pembentuk undang-undang. Implikasinya adalah perluasan kewenangan MK untuk mengadili perkara perselisihan Pilkada adalah inkonstitusional. Dengan demikian rezim Pilkada khususnya dalam hal diselenggarakan oleh siapa masih problematik. Hal ini bila setidaknya diukur dari pendekatan formil (Intent of Constitution Makers, Sistematika dan Koherensi Hubungan, Opened Policy) dan pendekatan materiil yang menjadi indikator rezim. Perbedaan rezim ini berdampak pada perbedaan dari sisi penyelenggara, sistem dan tahapan/proses, penyelesaian pelanggaran/sengketa. Akhirnya persepsi tentang rezim pemilihan yang bersumber dari perbedaan pada isi dan sistematika pasal dalam UUD NRI Tahun 1945, secara keseluruhan merefleksikan problem yang lebih luas mengenai pemilu. Dari subtansi pengaturan, ketentuan yang berbeda-beda membutuhkan penyatuan peraturan perundang-undangan dengan desain yang sesuai dengan sistem ketatanegaraan, sehingga membutuhkan penyatuan perundang-undangan dalam satu bentuk hukum (omnibus).

CALON WALIKOTA WAJIB MENGIKUTI UJI PUBLIK

Masyarakat Surabaya yang berminat untuk menjadi peserta Pemilihan Walikota Surabaya bisa mulai mempersiapkan diri. Sesuai dengan Undang-undang mengenai Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), semua bakal calon walikota harus mengikuti uji publik. Uji publik ini dilaksanakan tiga bulan sebelum pendaftaran calon. Hal ini terungkap dalam acara “Sosialisasi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada 2015)” yang diselenggarakan KPU Kota Surabaya pada Selasa (3/2) di Kantor KPU Kota Surabaya. Hadir dalam sosialisasi tersebut adalah Partai Politik Peserta Pemilu Tahun 2014, Polrestabes Surabaya, Polres Pelabuhan Tanjung Perak, dan Pemkot Surabaya. Komisioner KPU Surabaya bidang Sosialisasi Nur Syamsi, S. Pd mengatakan, semua Warga Negara Indonesia dapat mendaftar sebagai Bakal Calon Walikota Surabaya. Syaratnya, berusia minimal 25 tahun dan berpendidikan minimal SLTA atau sederajat. Bakal calon yang berasal dari Anggota TNI, Polri, dan PNS harus mengundurkan diri sebagai sejak mendaftarkan diri sebagai balon. Demikian pula dengan bakal calon yang menjabat di BUMN atau BUMD. “Saat mendaftar harus sudah mundur,” ungkap Syamsi. Sesuai dengan draf Peraturan Komisi Pemilihan Umum tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota (dapat diunduh di www.jdih.kpu.go.id), pendaftaran bakal calon dilaksanakan pada akhir Februari sampai dengan awal Maret 2015. Bakal calon juga harus mengantongi dukungan dari partai politik atau gabungan partai politik atau dukungan dari masyarakat yang dibuktikan dengan surat dukungan disertai fotokopi KTP elektronik untuk calon perseorangan,” ungkap Syamsi. Komisioner KPU Kota Surabaya Divisi Teknis Penyelenggaraan dan Data Nurul Amalia, S. Si menambahkan berdasarkan UU mengenai Pilkada, Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mendaftarkan kandidatnya jika telah memenuhi persyaratan perolehan paling sedikit 20 persen dari jumlah kursi DPRD atau 25 persen dari akumulasi perolehan suara sah dalam pemilihan umum anggota DPRD di daerah yang bersangkutan. “Ketentuan 25 persen ini hanya berlaku untuk Partai Politik yang memperoleh kursi di DPRD,” ucap Nurul. Karena jumlah penduduk Surabaya lebih dari satu juta jiwa maka bakal calon walikota dari perseorangan dapat mendaftarkan diri jika memenuhi syarat dukungan tiga persen dari jumlah penduduk Kota Surabaya. Jumlah dukungan tersebut tersebar di lebih dari 50 persen jumlah kecamatan di Surabaya. Bakal calon walikota yang telah mendaftar akan mengikuti uji publik. Mereka akan diuji oleh lima orang panelis yang terdiri atas dua orang akademisi, dua orang tokoh masyarakat, dan satu orang anggota KPU Kota Surabaya. “Dalam uji publik, bakal calon akan memaparkan profil, visi dan misi, serta program bakal calon,” imbuh Nurul. Sementara panitia uji publik akan melakukan pendalaman mengenai integritas dan kompetensi bakal calon. Dalam uji publik, bakal calon juga harus mengklarifikasi tanggapan dan masukan masyarakat. Sesuai draf Peraturan KPU, uji publik dilaksanakan pada bulan Maret sampai dengan April 2015. Bakal calon yang telah mengikuti uji publik akan memperoleh surat keterangan telah mengikuti uji publik. Setelah mendapatkan surat keterangan tersebut, bakal calon dapat mengikuti tahapan pencalonan. Adapun pemungutan suara, berdasarkan draf Peraturan KPU tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Penyelenggaraan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dilaksanakan pada 16 Desember 2015. “Masih bisa berubah, tergantung pada revisi UU Pilkada yang sedang digodok oleh DPR,” ujar ibu empat anak tersebut. Wakil Walikota Bagaimana dengan Wakil Walikota? Nurul mengatakan, dalam UU tentang Pilkada disebutkan bahwa wakil walikota diusulkan oleh Walikota terpilih 15 hari setelah pelantikan Walikota. Karena jumlah penduduk Kota Surabaya lebih dari 250 ribu jiwa, Walikota Surabaya terpilih dapat mengajukan dua wakil walikota. “ Tapi, itu tergantung walikotanya, apakah akan mengajukan satu atau dua wakil,” tandas Syamsi.

QUO VADIS KOMISI PEMILIHAN UMUM | MAJALAH HALOKPU EDISI I 2012

EDITORIAL “Tidak ada yang mudah, tapi tidak ada yang tidak mungkin” – Horatius. Kami memulainya dengan sederhana, tentang bagaimana mewujudkan gagasan besar untuk menjaga komunikasi institusi ini dengan masyarakat akar rumput (grassroots) tetap utuh dan berkesinambungan, tidak hanya dalam momen-momen pemilu saja. Bagaimanapun juga, menguatkan etos politik masyarakat adalah urgen karena mereka adalah pondasi sejati dari demokrasi itu sendiri, yang sering juga dinamakan dengan frasa sakti: kehendak rakyat. Dalam sistem yang demokratis, rakyat semestinya menjadi raja dari bangunan sistem politik yang menjamin hak-hak politiknya, bukan menjadi penjamin berkuasanya segelintir elit politik (oligarki). Namun juga menjadi lucu, bila masyarakat tidak mampu mengafirmasi perkembangan sistem demokrasi yang semakin maju. Pada prinsipnya antara sistem dan masyarakat yang diaturnya harus sejalan, tidak saling meninggalkan. Dalam kerangka inilah, institusi publik semestinya berkewajiban untuk mengembangkan kesadaran masyarakat menjadi semakin baik. Menyikapi narasi besar tersebut, KPU Kota Surabaya merasa perlu untuk menerbitkan suatu media yang mampu menjembatani antara kepentingan masyarakat dan kewajiban institusi dalam rangka penguatan demokrasi di Indonesia, khususnya di Surabaya. Penerbitan Majalah HALOKPU ini merupakan élan bagi pembangunan dan penguatan wacana pemilu masyarakat secara kontinyu untuk mewujudkan demokrasi yang substantif, tidak hanya prosedural saja. Majalah ini berusaha tidak hanya menjadi media yang mewartakan, tapi bercita menjadi penyampai gagasan-gagasan, media sosialisasi, maupun penyeimbang opini kepemiluan di masyarakat. Memang terdengar utopis, apalagi kami berangkat dengan sedikit pengalaman, namun dengan semangat yang hebat. Langkah awal tidak pernah mudah, tapi kami percaya sebagaimana Horatius bilang, tidak ada yang tidak mungkin. Quo vadis KPU Indonesia?, pertama dari kami, untuk anda. Selamat membaca.

DPR MENGESAHKAN DAN MENYETUJUI PERPPU PILKADA MENJADI UNDANG-UNDANG

Rapat Paripurna DPR (Selasa, 20/01/2015) memutuskan untuk mengesahkan dan menyetujui Peraturan Pemerintah Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, serta Peraturan Pemerintah Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang perubahan atas UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menjadi Undang-Undang. Ketua Komisi II DPR Rambe Kamarul Zaman dalam laporannya pada Rapat Paripurna DPR menjelaskan bahwa memang masih terdapat permasalahan dalam Perpuu No.1 th. 2014 dan Perpuu No.2 th. 2014, oleh sebab itu diperlukan perbaikan sesegera mungkin dan melalui usul inisiatif Komisi II DPR RI untuk mengajukan RUU Perbaikan nantinya, dan untuk dapat disahkan pada masa sidang saat ini. Rambe Kamarul Zaman juga berharap Pemerintah sesegera mungkin untuk mengundangkannya agar perbaikan dapat dilakukan lebih cepat guna memenuhi kebutuhan landasan yuridis yang komprehensif dan lebih baik dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah terutama tahun 2015 yang sudah memasuki tahapan persiapan. Dalam pandangan yang dibacakan Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo, pemerintah pada dasarnya memahami bahwa fraksi-fraksi DPR RI dan Komite I DPD RI memiliki komitmen yang sama dengan pemerintah dalam hal persetujuan atas RUU tersebut untuk ditetapkan menjadi UU. Terkait dengan perubahan-perubahan materi dalam Perppu No.1 th. 2014 yang telah disetujui dan ditetapkan menjadi UU, salah satunya tentang tahapan pelaksanaan, penyelesaian sengketa, dampak Pilkada serentak, pemerintah berpendapat diperlukan pembicaraan lebih lanjut, mengingat terbatasnya waktu persidangan maka pemerintah secara intensif membuka diri bersama dengan DPR untuk menyelesaikan perubahan UU tersebut. Pemerintah juga berpandangan bahwa perubahan terbatas tersebut tidak akan mengganggu proses tahapan Pilkada yang ditetapkan oleh penyelenggara Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pada tahun 2015 terdapat 204 daerah otonom yang akan melakukan Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota.