Berita Terkini

INDEPENDENSI: PERILAKU UTAMA PENYELENGGARA PEMILU

Edward Dewaruci, SH., MH – Komisioner KPU Kota Surabaya Periode 2009-2014 Dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2011 yang diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) boleh berasal dari partai politik. Tapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.81/PUU-IX/2011 telah menutup kesempatan itu. Aktivis partai baru bisa menjadi anggota KPU jika sudah mundur dari keanggotaan partai sekurang-kurangnya lima tahun pada saat mendaftarkan diri menjadi calon anggota KPU. Alasan utama keputusan MK sebagaimana diajukan oleh para pemohon judicial review terhadap undang-undang tersebut adalah untuk menjaga independensi dan fairness penyelenggara pemilu. Pemilu adalah ajang kompetisi, bagaimana mungkin kompetisi bisa berjalan dengan fair jika panitia penyelenggara dan juri-jurinya berasal dari para kompetitor. Begitulah kira-kira asumsi yang dibangun. Pemilu merupakan peristiwa politik yang sangat penting dan punya pengaruh besar dalam perjalanan republik selama lima tahun. Karena besarnya pengaruh itu maka banyak sekali pihak-pihak yang berkepentingan untuk ikut mengintervensi jalannya Pemilu, baik Pemilu untuk memilih anggota legislatif maupun Pemilu untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Jika dalam Pemilu Legislatif, partai-partai punya kepentingan secara langsung, maka dalam hal pemilihan Presiden, partai-partai bisa jadi hanya sekedar “perantara” dari kepentingan yang lebih besar, kecuali jika kita menganut sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, partai-partai punya pengaruh sangat besar dalam pemilihan kepala pemerintahan. Fakta bahwa yang berkepentingan dengan Pemilu tak semata-mata partai politik membuat kita yakin bahwa independensi KPU tak bisa direduksi hanya semata-mata karena pengaruh partai politik. Independensi KPU bukan persoalan yang sederhana karena menyangkut kepentingan seluruh komponen bangsa yang ada di republik ini. Berdasar pengalaman terdahulu Pemilu bisa karut marut disebabkan absennya ketiga hal (profesionalitas, kejujuran, dan keadilan), dan yang bisa terjamin jika adanya sikap Independen dari penyelenggara pemilu KPU sampai jajaran terdepannya (PPK-PPS). Profesionalisme dalam hal ini ada dua kategori, yang bersifat teknis dan non-teknis. Yang teknis berkaitan langsung dengan detail juklak dan juknis penyelenggaraan Pemilu, sedangkan yang non-teknis menyangkut penanganan masalah-masalah sosial yang secara langsung berhubungan dengan penyelenggaraan Pemilu. Kejujuran adalah sebuah sikap yang paling sulit dilakukan tapi mau tidak mau harus diterapkan oleh penyelenggara pemilu, bersikap terbuka dan selalu dapat mempertanggungjawabkan setiap keputusan/kebijakan yang diambil. Keadilan sebagai sikap yang harus dijunjung karena memperlakukan sama semua peserta pemilu, tidak ada pilih kasih atau diskriminasi, baik menyangkut pelayanan maupun penyampaian informasi. Undang-undang bukanlah kitab suci yang tidak boleh diganggu-gugat. Itu sebabnya, langkah Mahkamah Konstitusi mengoreksi Undang-Undang Penyelenggara Pemilihan Umum tak bisa disalahkan. Apalagi tujuannya amat bagus, yakni menjaga independensi Komisi Penyelenggara Pemilu. Putusan MK memang sering dikritik karena cenderung membuat aturan baru. Begitu pula kali ini. Tapi langkah ini mesti dilihat sebagai upaya menyelamatkan demokrasi sesuai dengan semangat konstitusi. Soalnya, aturan dalam UU Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu cenderung menabrak prinsip demokrasi. Aturan mengenai syarat calon anggota KPU itu dituangkan dalam Pasal 11 huruf i dan pasal 85 huruf i. Intinya, setiap kader partai politik boleh mendaftar menjadi komisioner di KPU asalkan mengundurkan diri dari partai. Bisa dibayangkan, betapa kacaunya komisi ini bila para politikus masuk ke sana. Lembaga ini akan menjadi ajang pertarungan antarpartai. Independensinya bakal dipertanyakan. Itu sebabnya, MK mengoreksi aturan tersebut. Dua pasal mengenai syarat calon anggota KPU itu tetap diberlakukan sepanjang dimaknai dengan pengertian baru. Seorang calon anggota KPU harus mengundurkan diri dari partai politik minimal lima tahun sebelum mendaftarkan diri. Penyempurnaan pasal itu dilakukan setelah Mahkamah menerima permohonan uji materi dari sederet lembaga swadaya masyarakat. Lembaga-lembaga ini amat peduli terhadap penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis. Keadaan yang ideal sulit dicapai bila orang-orang partai dibiarkan masuk ke KPU. Kalangan partai politik yang sejak semula ingin masuk ke KPU tentu sulit menerima putusan itu. Di antara mereka bahkan secara tak etis menyerang Ketua MK Mahfud Md. dengan mengatakan ia punya agenda politik dengan putusan tersebut. Mereka juga beralasan, tidak adanya wakil partai di KPU akan membuat mereka gampang dicurangi, ditelikung. Dalih itu sungguh janggal. Cara berpikir mereka negatif, penuh syak wasangka. Bagaimana mereka bisa menilai anggota baru KPU yang akan dipilih akan melakukan kecurangan? Kalau memang tidak ingin ditelikung, pilihlah anggota Komisi yang bersih. Bukankah DPR juga akan menyaring para calon komisioner? Lagi pula, “menitipkan” orang ke komisi ini hanya menguntungkan partai-partai besar. Anggota KPU hanya enam orang, plus seorang ketua. Padahal partai politik jumlahnya berkali lipat. Kalau orang partai diperbolehkan masuk, bisa dipastikan mereka hanyalah orang-orang dari partai besar. Partai kecil dan baru tak memiliki “wakil”. Sebetulnya masih ada bolong, kendati undang-undang pemilu telah dikoreksi MK. Partai-partai masih mungkin “merayu” anggota KPU yang sedang bertugas agar memberi keuntungan kepada mereka. Imbalannya boleh jadi jabatan di partai itu begitu pemilu selesai. Maka sebetulnya harus diatur pula bahwa seorang bekas anggota KPU tidak boleh menjadi pengurus partai. Aturan seperti itu akan membuat KPU semakin terbebas dari intervensi kepentingan partai politik. Meski begitu, putusan MK tetaplah sebuah kemajuan, hal yang semestinya disokong pula oleh partai-partai jika mereka benar-benar menginginkan pemilu yang bersih dan adil, Putusan MK ini positif, memberikan kepastian tentang makna independensi penyelenggara pemilu. Orang boleh saja tidak percaya pada kredibilitas partai politik (parpol).Namun, hal itu tidak boleh terjadi pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Yang terpenting dari independensi KPU adalah dari aspek kelembagaan. Independensi KPU secara kelembagaan berarti seluruh infrastruktur dan staf yang ada di KPU, termasuk perangkat lunak (teknologi informasi/IT) yang digunakan, harus bisa difungsikan untuk kepentingan semua partai politik peserta Pemilu, tidak ada prioritas untuk partai A, B, atau C. Pemerintah, atau kekuatan mana pun tidak boleh melakukan intervensi yang membuat KPU berlaku tidak adil. Sekali KPU membuat kesalahan fatal dan mengakibatkan masyarakat tidak percaya pada hasil kerjanya, maka produk berupa legalitas wakil rakyat dan pemerintah juga akan dipertanyakan masyarakat. Begitu pun jika KPUD tidak lagi kredibel, kita khawatir bahwa produknya juga diragukan masyarakat. Jika terjadi demikian, hal itu akan merobohkan demokrasi dan wibawa pemerintah. Tulisan ini juga dimuat dalam Majalah HALOKPU Edisi I, Maret 2012

PEMILUKADA MEMPERKUAT DEMOKRASI DI DAERAH

Robiyan Arifin, SH., MH – Ketua KPU Kota Surabaya Salah satu persyaratan pelaksanaan sistem demokrasi adalah keikutsertaan rakyat dalam proses pemerintahan. Masyarakat mempunyai akses ke sistem pemerintahan memberikan partisipasi dalam memilih siapa yang akan menjadi pemimpin mereka. Dalam sistem negara dimana terbentuk Lembaga Perwakilan Rakyat, maka kemauan rakyat itu diwakilkan kepada mereka yang duduk dalam Lembaga Perwakilan Rakyat. Diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia mempunyai tujuan untuk memberdayakan masyarakat lokal. Sebelumnya pemilihan kepala daerah seringkali turut dipengaruhi oleh pemerintah pusat atau oleh pemerintah provinsi untuk pemilihan kepala daerah kabupaten/kota. Di era reformasi kewenangan untuk memilih seorang kepala daerah sepenuhnya dilakukan oleh rakyat. Pemilihan kandidat politik untuk bursa eksekutif dan legislatif di zaman serba terbuka sekarang ini, tampaknya seperti sedang mengadopsi model atau even pasar produk bisnis komersial. Tiba-tiba dengan tempo singkat, menyeret sejumlah besar pelaku terlibat langsung dan tidak langsung dalam menanggapi even ini. Di antara mereka saling menjajaki satu sama lain, membuka penawaran, saling berpromosi, adu kompetisi, memobilisasi resources, negosiasi alot, menggandeng spekulan, serta memacu mobilitas dan popularitas. Pemilihan langsung telah mendekatkan antara kandidat dengan masyarakat. Seleksi pimpinan nasional sampai kepemimpinan lokal dilaksanakan langsung. Pemilih akan menjatuhkan pilihannya kepada sang idola saat sudah berada di bilik suara. Pemilu 2004 menjadi pengalaman pertama rakyat menitipkan kepercayaannya langsung kepada tokoh pilihannya. Pemilihan DPR, DPD, serta Presiden dan Wakil Presiden yang berlangsung dua tahap ternyata menjadi ajang pencitraan publik figur bagi para kontestan di atas panggung nasional. Demikianlah kelak pemilihan kandidat politik di tingkat lokal. Rakyat memilih langsung siapa yang pantas sesuai menjadi kepala daerah di wilayahnya. Bupati, walikota dan gubernur adalah jabatan-jabatan publik untuk siapa saja yang ingin maju tampil menjadi kontestan. Bursa pencalonan lebih terbuka, kompetitif dan partisipatif. Sementara siklus dan rotasi kepemimpinan dipastikan berjalan dinamis sambil memberi ruang-ruang kebebasan sepanjang proses transisi demokratik yang tak mungkin lagi terhindarkan. Sekarang siapa yang dapat menjadi kandidat politik? Kesempatan terbuka bagi siapapun yang ingin optimal meraihnya. Pemilukada Sebagai Wujud Demokrasi di Tingkat Lokal. Dalam konteks konsolidasi dan penguatan demokrasi, pemilukada langsung menjadi pilar yang memperkukuh bangunan demokrasi secara nasional. Terlaksananya pemilukada langsung menunjukkan adanya peningkatan demokrasi karena rakyat secara individu dan kelompok terlibat dalam proses melahirkan pemerintah atau pejabat negara. Pemilukada yang dalam makalah ini dimaksudkan sebagai demokrasi lokal adalah upaya untuk mewujudkan local accountability, political equity, dan local responsiveness, yang merupakan tujuan dari desentralisasi. Hasil pemilukada adalah tampilnya seorang pejabat publik yang dimiliki oleh rakyat tanpa membedakan darimana asal dan usul keberadaannya karena dia telah ditempatkan sebagai pengayom bagi rakyat. Siapapun yang memenangkan pertarungan dalam Pemilukada ditetapkan sebagai kepala daerah (local executive) yang memiliki legal authority of power (teritorial kekuasaan yang jelas), local own income and distribute them for people welfare (memiliki pendapatan daerah untuk didistribusikan bagi kesejahteraan penduduk), dan local representative as balance power for controlling local executive (lembaga perwakilan rakyat sebagai pengontrol eksekutif daerah). Pelaksanaan pemilukada secara langsung memperoleh tanggapan yang cukup beragam di dalam masyarakat. Sebagian melihat pemilukada sebagai langkah lanjut untuk meningkatkan kualitas demokrasi di daerah. Rakyat di daerah, di dalam hal ini, lebih otonom karena sebagai penentu pemimpin daerah. Sebagai konsekuensinya, mereka juga bisa lebih leluasa meminta pertanggungjawaban dari para pemimpin yang telah dipilihnya itu. Tetapi, di sisi yang lain, pelaksanaannya memperoleh tanggapan yang kritis. Pemilukada hanya membuang-buang uang dan waktu saja. Biaya yang cukup besar itu, akan lebih baik digunakan untuk proyek-proyek pembangunan yang menguntungkan rakyat. Apapun pendapat tersebut, realitasnya pemilukada harus berlangsung dan kehadirannya telah menggeser kekuatan sentralistik dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hadirnya pemerintah yang dipilih dan ditentukan oleh daerah paling tidak menjadi sinyal bagi membaiknya sistem layanan publik bagi rakyat di daerah sebagai esensi dari kehadiran pemerintahan daerah yang legitimate. Relasi Pemilukada dengan Otonomi Daerah Pemilihan langsung kepala daerah menjadi konsensus politik nasional[1], yang merupakan salah satu instrumen penting penyelenggaraan pemerintahan setelah digulirkannya otonomi daerah di Indonesia. Sedangkan Indonesia sendiri telah melaksanakan pemilukada secara langsung sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. Hal ini apabila dilihat dari perspektif desentralisasi, pemilukada langsung tersebut merupakan sebuah terobosan baru yang bermakna bagi proses konsolidasi demokrasi di tingkat lokal. Pemilukada langsung akan membuka ruang partisipasi yang lebih luas bagi masyarakat dalam proses demokrasi untuk menentukan kepemimpinan politik di tingkat lokal. Sistem ini juga membuka peluang bagi masyarakat untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya secara lebih baik tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elit politik, seperti ketika berlaku sistem demokrasi perwakilan. Pemilukada langsung juga memicu timbulnya figur pemimpin yang aspiratif, kompeten, legitimate, dan berdedikasi. Sudah barang tentu hal ini karena kepala daerah yang terpilih akan lebih berorientasi pada warga dibandingkan pada segelintir elit di DPRD. Masyarakat di tingkat lokal sesungguhnya memerlukan implementasi demokrasi nyata dan dapat mengalami secara langsung. Pengelolaan otonomi daerah menuntut kondisi terciptanya proses demokrasi. Proses demokrasi merupakan jaminan masyarakat dapat mengatur mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat. Dalam UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dijelaskan perihal Hak Daerah.  Hak yang dimaksud dalam menyelenggarakan otonomi antara lain meliputi: mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya; memilih pimpinan daerah; mengelola aparatur daerah; mengelola kekayaan daerah; memungut pajak daerah dan retribusi daerah; mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang berada di daerah; mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan perundang-undangan. Ada lima pertimbangan penting penyelenggaraan pemilukada langsung bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Pemilukada langsung merupakan jawaban atas tuntutan aspirasi rakyat karena pemilihan presiden dan wakil presiden, DPR, DPD, bahkan kepala desa selama ini telah dilakukan secara langsung. Pemilukada langsung merupakan perwujudan konstitusi dan UUD 1945. Seperti telah diamanatkan Pasal 18 Ayat (4) UUD 1945, Gubernur, Bupati dan Wali Kota, masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara demokratis. Hal ini telah diatur dalam UU No 32 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. Pemilukada langsung sebagai sarana pembelajaran demokrasi (politik) bagi rakyat (civic education). Ia menjadi media pembelajaran praktik berdemokrasi bagi rakyat yang diharapkan dapat membentuk kesadaran kolektif segenap unsur bangsa tentang pentingnya memilih pemimpin yang benar sesuai nuraninya. Pemilukada langsung sebagai sarana untuk memperkuat otonomi daerah. Keberhasilan otonomi daerah salah satunya juga ditentukan oleh pemimpin lokal. Semakin baik pemimpin lokal yang dihasilkan dalam pemilukada langsung, maka komitmen pemimpin lokal dalam mewujudkan tujuan otonomi daerah, antara lain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dengan selalu memerhatikan kepentingan dan aspirasi masyarakat agar dapat diwujudkan. Pemilukada langsung merupakan sarana penting bagi proses kaderisasi kepemimpinan nasional. Disadari atau tidak, stok kepemimpinan nasional amat terbatas. Dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 200 juta, jumlah pemimpin nasional yang kita miliki hanya beberapa. Karena itu, harapan akan lahirnya pemimpin nasional justru dari pemilukada langsung ini. Permasalahan yang muncul dalam Pemilukada Konsekuensi sebuah pertarungan politik pemilukada adalah pasti ada yang menang dan ada yang kalah. Seringkali bagi pihak yang kalah tidak dapat menerima kekalahannya dengan lapang dada. Sehingga dia akan melakukan cara guna mengkritisi lembaga penyelenggara pemilukada, bahkan tidak jarang melakukan pengerahan massa sebagai luapan kekecewaan terhadap proses penyelenggaran dan ataukah merupakan kekecewaan atas kekalahan dalam sebuah pertarungan. Hal ini membuktikan rendahnya kesadaran poltik masyarakat. Sebagai langkah antisipasi maka lembaga penyelenggara (KPU) biasanya melakukan ikrar siap menang dan siap kalah yang dihadiri seluruh kontestan pemilukada. Demikian juga kelompok seperti mahasiswa dan LSM/NGO dengan melakukan kampanye “damai”. Namun demikian tetap saja ada masalah yang muncul, di sela-sela perubahan konstalasi politik, Masalah-masalah pemilukada dimaksudkan sebagai berikut : Money politic Money politic adalah istilah buruk dalam pemilukada, namun demikian terkadang juga dilakukan oleh para kontestan, sebab money politic sebagi cara pintas untuk meraup suara lebih banyak. Dan menjadi kebutuhan pangsa pasar (konstituen) yang secara ekonomi masyarakat cenderung masih rendah. Sehingga dimanfaatkan untuk menghalalkan segala cara. Money politic bukan hanya dimaksudkan praktek uang sebelum proses pemilihan, tetapi juga dimaksudkan dengan pembagian sembako dengan deal harus memilih calon tertentu. Mencuri start kampanye Tindakan ini paling sering terjadi. Berbagai cara dilakukan seperti pemasangan baliho, spanduk, selebaran di tengah-tengah masyarakat yang justru merusak pemandangan kota. Sering juga untuk bakal calon incumbent melakukan tour ke beberapa daerah dengan dalih kunjungan kepala daerah. Juga melakukan pertemuan dengan tokoh masyarakat dengan alasan silaturahmi. Hal tersebut terlihat intensitasnya sangat tinggi ketika mendekati pemilu. Kampanye negatif Kampanye negatif dimaksudkan melakukan penyebaran fitnah terhadap rival. Sesungguhnya sikap tersebut bukan hanya beresiko pada integritas pada calon akan tetapi juga akan mengancam dan merusak integritas daerah tersebut. Sebab lambat laun akan terpublikasi oleh media sampai pada ‘daerah tetangga’ yang menyaksikan proses pemilukada yang dianggap tidak beretika. Kampanye negatif sangat berpengaruh pada munculnya bibit-bibit perpecahan di tengah-tengah masyarakat. Sebab siapapun sebagai tim sukses atau simpatisan tentunya tidak senang dengan adanya isu negatif yang diarahkan pada kandidatnya. Di sinilah pentingnya sikap toleransi dan perbedaan dalam berdemokrasi. Besarnya Biaya Pemilukada Secara rasional dengan diadakannya pemilihan kepala daerah langsung oleh masyarakat Indonesia maka menyebabkan pembengkakan pada anggaran yang dikeluarkan oleh APBD Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Pada tahun pelaksanaan pemilukada, dana tersebut tidak lain adalah untuk membiayai kebutuhan logistik pemilukada, pemutakhiran DPT, biaya sosialisasi, honor penyelenggara pemilukada (Panitia Pemilihan Kecamatan, Panitia Pemilihan Kelurahan, KPPS), Panwaslu, biaya pengamanan untuk kepolisian dan lain sebagainya. Belum lagi jika ternyata pelaksanaannya dua putaran lalu digugat di MK dan harus dilakukan pemilukada ulang!. Besarnya biaya ini akan bisa ditekan seminim mungkin jika UU hanya mengatur pelaksanaan pemilukada cukup satu putaran saja. Penguatan Demokrasi Ada beberapa keunggulan pemilukada dengan model demokratis secara langsung sebagaimana diterapkan di Indonesia: Pertama, melibatkan partisipasi masyarakat konstituen secara luas, sehingga akses dan kontrol masyarakat lebih kuat terhadap arena dan aktor yang terlibat dalam proses pemilukada. Kedua, terjadinya kontrak sosial antara kandidat, partai politik dan konstituen untuk mewujudkan akuntabilitas pemerintah lokal. Ketiga, memberi ruang dan pilihan terbuka bagi masyarakat untuk menentukan calon pemimpin yang hebat (memiliki kapasitas, integritas dan komitmen yang kuat) dan legitimate di mata masyarakat. Mengingat besarnya manfaat pemilukada langsung bagi pengembangan demokrasi, partisipasi publik dan percepatan mencapai kesejahteraan bagi masyarakat di tingkat lokal, maka sungguh disayangkan bila ajang ini harus cacat dan dibikin rusak dengan praktek money politic, unfair game, tidak siap kalah dan lain-lain. Sangat dibutuhkan peran dan kejujuran dari semua pihak agar dapat mewujudkan pemilukada yang jujur, adil dan demokratis. Tulisan ini juga dimuat dalam Majalah HALOKPU Edisi I, Maret 2012 [1] Eko Prasojo, Irfan Ridwan Maksum, dan Teguh Kurniawan, Desentralisasi & Pemerintahan Daerah: Antara Model Demokrasi Lokal & Efisiensi Struktural, 2006, hlm. 40

KUNJUNGAN SISWA KELAS VI SD LITTLE SUN SCHOOL SURABAYA

KPU Kota Surabaya menerima kunjungan Mr. Andri Wibowo dari Little Sun School bersama beberapa guru dan 17 siswa dalam rangka memperdalam pengetahuan siswa mengenai pelaksanaan Pemilu Legislatif, Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, serta Pemilukada, Senin 13 Oktober 2014. Siswa Little Sun School diajak untuk belajar sambil bermain mengenai Pemilu. Seperti dalam pemilihan ketua kelas, pemilu bertujuan untuk memilih pengelola dalam Negara. Di Indonesia, Pemilu adalah metode untuk memilih wakil rakyat (legislatif) dan pimpinan pemerintahan (kepala eksekutif). Siswa dijelaskan mengenai penyelenggaraan Pemilu yang dilaksanakan oleh KPU Kota Surabaya, termasuk asas Pemilu Luber Jurdil, Peserta Pemilu, dan Syarat Memilih. Oleh Bp. Nur Syamsi, materi dijelaskan secara ringan dan dengan bahasa yang mudah dipahami oleh siswa, misalnya dengan menganalogikan dengan peristiwa-peristiwa yang inheren dengan dunia anak, misalnya melalui film, cerita, dan lain-lain. Keberadaan Pemilu sangat penting karena menjadi arena bagi warga Negara untuk mengekspresikan hak-hak dasar secara bebas. hak dasar warga Negara antara lain hak untuk menyatakan pendapat, hak untuk berkumpul dan berserikat, serta hak untuk bebas dari rasa takut. Untuk menjelaskan pergantian kekuasaan, dianalogikan melalui film Mahabarata dan Snow White. Dalam Mahabarata, Pandawa dan Kurawa berperang untuk memperebutkan kekuasaan di Kerajaan Hastina Pura. Dalam Snow White, Si ibu Tiri ingin menjadi ratu penguasa kerajaan Snow White. Akibatnya, Snow White dibuang ke hutan dan diracuni sehingga tertidur selamanya. Beruntung pangeran yang baik hati dapat membangunkan Snow White dan mengalahkan ratu jahat. Dalam kehidupan modern, Pemilu menjadi sarana berlangsungnya peralihan kekuasaan secara reguler dan damai. Siswa diajak untuk melakukan simulasi pencoblosan dengan surat suara, kotak, bilik, dan tinta celup. Siswa diajak untuk berperan aktif dalam penyelenggaraan Pemilu yaitu dengan: Ingatkan orang tua dan lingkungan sekitar untuk mengikuti Pemilu, juga memantau TPS di sekitar tempat tinggal agar Pemilu berjalan Luber dan Jurdil.

KUNJUNGAN MAHASISWA FISIP UNIVERSITAS WIJAYA KUSUMA SURABAYA

Jumat, 10 Oktober 2014 KPU Kota Surabaya menerima kunjungan Bp. Yordan Malino bersama 20 (dua puluh) mahasiswa FISIP Universitas Wijaya Kusuma Surabaya terkait dengan praktikum pengembangan materi ilmu politik, khususnya materi kepemiluan, kinerja KPU, dan RUU Pemilukada. Dalam acara yang dimulai pukul 13.00 WIB tersebut, KPU Kota Surabaya secara terbuka memaparkan materi sosialisasi kepemiluan dan kinerja penyelenggara Pemilu secara jelas berdasarkan peraturan perundangan yang berlaku. Beberapa pertanyaan kritis dan mendasar yang disampaikan diantaranya mengenai pemutakhiran daftar pemilih, cara menjadi anggota KPU, relasi KPU dengan institusi birokrasi di wilayah kerjanya, dan praktik money politics dalam pemilu. Bp. Nur Syamsi dan Bu Nurul Amalia selaku Komisioner KPU Kota Surabaya menjelaskan kinerja KPU secara gamblang, baik secara normatif dan praktiknya terkait dengan relasi KPU dengan pemerintah baik di daerah, provinsi, pusat, dilengkapi dengan bagan alur dan contoh kerja sama dalam penyelengaraan Pemilu. Misal dalam pemutakhiran daftar pemilih, KPU menerima DP4 sebagai sumber data dari Dinas Kependudukan, kemudian di tingkat kelurahan dan kecamatan KPU dibantu oleh pihak kelurahan dan kecamatan untuk memfasilitasi petugas PPS dan PPK. Terkait dengan relasi KPU dengan institusi birokrasi lainnya, ditegaskan bahwa KPU tidak dalam intervensi pihak manapun karena melekat asas independen, mandiri, dan non partisan. Dijelaskan juga bahwa kinerja KPU secara etik selalu dipantau Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) untuk menjamin penyelenggaraan Pemilu yang berkualitas. Bila penyelenggara Pemilu tidak bekerja berdasarkan koridor etik, maka DKPP berwenang menjatuhkan sanksi, baik berupa peringatan, pemberhentian sementara ataupun pemberhentian tetap. Mahasiswa juga memberikan saran secara kritis dan konstruktif dalam rangka meningkatkan kinerja KPU dan penyelenggaraan Pemilu yang semakin baik. Dalam acara ini, KPU Kota Surabaya juga menjelaskan tentang RUU Pemilukada yang baru; pada dasarnya KPU Kota Surabaya siap melaksanakan apapun yang diamanatkan oleh undang-undang, karena hal tersebut sama halnya dengan menjalankan amanat rakyat.

Gelar Apel Kerja di Awal Pekan

Surabaya, http://kota-surabaya.kpu.go.id - Senin (13/11), KPU Surabaya menggelar Apel Kerja di halaman kantor KPU Surabaya pada pukul 8.00 WIB. Kegiatan yang diikuti oleh Pimpinan dan Staf KPU Surabaya, serta siswa dan mahasiswa magang ini diawali dengan pembacaan naskah Pancasila, Pembukaan UUD 1945, Panca Prasetya Korpri, dan dilanjutkan dengan pembacaan amanat Pembina Apel. Kepala Subbagian Perencanaan, Data dan Informasi, Endah Yuli Ekowati dalam amanatnya meminta agar seluruh Subbagian dan Staf saling bekerjasama, karena penyelenggaraan Pemilu merupakan kinerja kolektif. "Hari pemungutan suara semakin dekat, semoga kerja-kerja kita menjadi amal ibadah kita," harap Endah Yuli Ekowati. Apel kerja diakhiri dengan pembacaan doa untuk kelancaran kinerja kelembagaan dalam sehari-hari.