Berita Terkini

ETIKA PENYELENGGARA PEMILU

Oleh: Robiyan Arifin (Ketua KPU Kota Surabaya) Berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 22 E (5) “Pemilihan umum diselenggarakan oleh suatu komisi pemilihan umum yang bersifat nasional, tetap, dan mandiri”. Keberadaan lembaga negara yang berfungsi sebagai instrumen demokrasi ini sangat penting bahkan eksistensi lembaga ini dijamin dan dilindungi secara konstitusional dalam UUD 1945. Berdasarkan UU Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum,  penyelenggaraan pemilihan umum terdapat 3 fungsi yang saling berkaitan yang diinstitusionalisasikan dalam 3 kelembagaan, yaitu KPU, Bawaslu, dan DKPP. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum atau DKPP bukan lembaga penyelenggara pemilu, tetapi tugas dan kewenangannya terkait dengan para pejabat penyelenggara pemilu. Tugas dan kewenangan DKPP berkaitan dengan individu pejabat penyelenggara pemilihan umum, baik KPU maupun Bawaslu. Dalam arti sempit, KPU hanya terdiri atas para komisioner di tingkat pusat, provinsi, dan ditingkat kabupaten/kota. Demikian pula dalam arti sempit, Bawaslu hanya terdiri atas pimpinan atau anggota Bawaslu tingkat pusat dan Bawaslu tingkat provinsi. Namun dalam arti luas, penyelenggara pemilihan umum itu, baik dalam lingkungan KPU maupun Bawaslu, menyangkut pula para petugas yang bekerja secara tetap atau yang bekerja secara tidak tetap/adhoc. Yang bekerja secara tetap, misalnya pegawai negeri sipil yang bekerja di KPU atau yang bekerja di Bawaslu. Sedangkan yang bekerja secara tidak tetap atau adhoc, misalnya adalah Ketua dan Anggota PPK, PPS, KPPS, KPPSLN, Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu) di tingkat kabupaten/kota, Panwascam, PPL dan Pengawas TPS. Dan khusus bagi Pegawai Negeri Sipil atau PNS, selain tunduk kepada ketentuan UU Penyelenggara Pemilu, dalam hal kaitannya dengan penegakan kode etik, PNS juga harus tunduk kepada ketentuan UU kepegawaian. Berdasarkan Pasal 1 angka (6) Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP Nomor 13, Nomor 11, dan Nomor 1 Tahun 2012 tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu, Kode etik penyelenggara Pemilu adalah satu kesatuan landasan norma moral, etis dan filosofis yang menjadi pedoman bagi prilaku penyelenggara Pemilu yang diwajibkan, dilarang, patut atau tidak patut dilakukan dalam semua tindakan dan ucapan. Dan berdasarkan Pasal 4 Peraturan Bersama KPU, Bawaslu dan DKPP, Kode Etik bertujuan untuk menjaga kemandirian, integritas, dan kredibilitas anggota KPU, anggota KPU Provinsi atau KIP Aceh, anggota KPU Kabupaten/Kota atau KIP Kabupaten/Kota, PPK, PPS, KPPS, PPLN, dan KPPSLN, serta anggota Bawaslu, Anggota Bawaslu Provinsi, anggota Panwaslu Kabupaten/Kota, anggota Panwaslu Kecamatan, anggota Pengawas Pemilu Lapangan, dan anggota Pengawas Pemilu Luar Negeri. SUBJECTUM DAN OBJECTUM LITIS PERKARA DI DKPP Subjectum Litis Seperti dikemukakan di atas, berdasarkan UU tentang Penyelenggara Pemilu, subjectum litis atau subjek yang dapat menjadi pihak yang berperkara di DKPP dapat mencakup pengertian yang luas dan dapat pula menyangkut pengertian sempit. Namun, dalam Peraturan tentang Pedoman Beracara DKPP, pengertian pihak yang dapat berperkara tersebut dibatasi, sehingga penanganan kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu dapat secara realistis ditangani dan diselesaikan oleh DKPP. Lagi pula, DKPP juga perlu memberikan dukungan penguatan kepada KPU dan Bawaslu sendiri untuk menjalankan fungsinya tanpa harus menangani semua urusan dugaan pelanggaran kode etik sendiri. Hal-hal yang dapat diselesaikan sendiri oleh KPU dan Bawaslu atau pun hal-hal yang semestinya ditangani dan diselesaikan lebih dulu oleh KPU dan Bawaslu, tidak boleh secara langsung ditangani oleh DKPP dengan mengabaikan mekanisme internal KPU dan Bawaslu sendiri lebih dulu. Karena itu, idealnya, kasus-kasus dugaan pelanggaran kode etik yang secara langsung dapat diajukan dan ditangani oleh DKPP dibatasi hanya untuk kasus-kasus dugaan pelanggaran yang dilakukan oleh penyelenggara pemilu di tingkat provinsi atau tingkat pusat. Sedangkan untuk kasus-kasus pelanggaran yang dilakukan pada tingkayt kabupaten/kota lebih dulu harus diklarifikasi dan ditangani oleh KPU Pusat atau Bawaslu Pusat. Jika pun laporan atau pengaduan terkait diajukan langsung oleh masyarakat, oleh partai politik atau pun oleh penyelenggara pemilu tingkat lokal kepada DKPP, maka laporan atau pengaduan tersebut akan diperiksa dan diselesaikan lebih oleh KPU atau Bawaslu melalui anggota anggota KPU atau anggota Bawaslu yang duduk sebagai anggota DKPP.[1] Objectum Litis Objek perkara yang ditangani oleh DKPP terbatas hanya kepada persoalan perilaku pribadi atau orang per orang pejabat atau petugas penyelenggara pemilihan umum. Objek pelanggaran etika yang dapat diperkarakan serupa dengan kualifikasi tindak pidana dalam sistem peradilan pidana, yaitu menyangkut sikap dan perbuatan yang mengandung unsur jahat dan melanggar hukum yang dilakukan oleh perseorangan individu secara sendiri-sendiri atau pun bersama-sama yang dipertanggung-jawabkan juga secara individu orang per orang.Dengan perkataan lain, yang dapat dituduh melanggar kode etik adalah individu, baik secara sendiri-sendiri atau pun secara bersama-sama, bukan sebagai satu institusi, melainkan sebagai orang per orang. Yang dapat dituduh melanggar kode etik, bukan KPU atau Bawaslu sebagai institusi, tetapi orang per orang yang kebetulan menduduki jabatan ketua atau anggota KPU atau Bawaslu tersebut. Karena itu, pihak yang melaporkan atau yang mengadu harus mampu membuktikan apa saja yang telah dilakukan oleh orang per orang individu ketua atau anggota KPU atau Bawaslu yang dianggap telah melanggar kode etik penyelenggara pemilu sesuai dengan ketentuan yang berlaku.[2] Berdasarkan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP tentang Kode Etik PenyelenggaraPemilu Pasal 17. Penyelenggara Pemilu yang melanggar Kode Etik dikenai sanksi.  Sanksi yang dijatuhkan berupa: teguran tertulis; pemberhentian sementara; atau pemberhentian tetap. AKIBAT HUKUM PUTUSAN FINAL DAN MENGIKAT Sifat Final dan Mengikat Putusan DKPP bersifat final dan mengikat. Final artinya tidak tersedia lagi upaya hukum lain atau upaya hukum yang lebih lanjut sesudah berlakunya putusan DKPP sejak ditetapkan dan diucapkan dalam sidang pleno terbuka DKPP terbuka untuk umum. Mengikat artinya putusan itu langsung mengikat dan bersifat memaksa sehingga semua lembaga penyelenggara kekuasaan negara dan termasuk badanbadan peradilan terikat dan wajib melaksanakan putusan DKPP itu sebagaimana mestinya. Pelaksanaan atau eksekusi putusan DKPP itu wajib ditindak-lanjuti sebagaimana mestinya oleh KPU, Bawaslu, atau pun oleh Pemerintah dan lembaga-lembaga yang terkait[3] Implikasi Putusan terhadap Proses Pemilu Secara normatif dan formal, putusan DKPP tidak berkaitan dengan proses tahapan pemilihan umum. Sebabnya ialah, objectum litis perkara di DKPP hanya berkaitan dengan isu persona aparat penyelenggara pemilihan umum, maka dengan sendirinya putusan DKPP pun tidak mengandung akibat hukum terhadap proses atau tahapan pemilihan umum. Objek perkara di DKPP juga tidak tergantung kepada ‘tempos delicti’ atau saat kapan suatu perbuatan melanggar kode etik.[4] PRINSIP DASAR ETIKA DAN PRILAKU    Konferensi Pers 28 Juli 2015   Berdasarkan Peraturan Bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP  tentang Kode Etik Penyelenggara Pemilu Pasal 7 Penyelenggara Pemilu berkewajiban: memelihara dan menjaga kehormatan lembaga Penyelenggara Pemilu; menjalankan tugas sesuai visi, misi, tujuan, dan program lembaga Penyelenggara Pemilu; menjaga rahasia yang dipercayakan kepadanya, termasuk hasil rapat yang dinyatakan sebagai rahasia sampai batas waktu yang telah ditentukan atau sampai masalah tersebut sudah dinyatakan untuk umum sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan; menghargai dan menghormati sesama lembaga Penyelenggara Pemilu dan pemangku kepentingan Pemilu; dan melakukan segala upaya yang dibenarkan etika sepanjang tidak bertentangan dengan perundang-undangan sehingga memungkinkan bagi setiap penduduk yang berhak memilih terdaftar sebagai pemilih dan dapat menggunakan hak memilihnya. Dalam Pasal 8, Penyelenggara Pemilu berkewajiban ; menjaga dan memelihara tertib sosial dalam penyelenggaraan Pemilu; mengindahkan norma dalam penyelenggaraan Pemilu; dan menghormati kebhinnekaan masyarakat Indonesia. Dan juga di Pasal 9, Penyelenggara Pemilu berkewajiban: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa; menjunjung tinggi sumpah/janji jabatan dalam melaksanakan tugas, wewenang, kewajiban, dan tanggungjawabnya; menjaga dan memelihara netralitas, imparsialitas, dan asas-asas penyelenggaraan Pemilu yang jujur, adil, dan demokratis; tidak mengikutsertakan atau melibatkan kepentingan pribadi maupun keluarga dalam seluruh pelaksanaan tugas, wewenang, dan kewajibannya; melaksanakan tugas-tugas sesuai jabatan dan kewenangan yang didasarkan pada Undang-Undang Dasar Negara Republik IndonesiaTahun1945, undang-undang, peraturan perundang-undangan, dankeputusan yang berkaitan dengan penyelenggaraan Pemilu; mencegah segala bentuk dan jenis penyalahgunaan tugas, wewenang, danjabatan, baik langsung maupun tidak langsung; menolak untuk menerima uang, barang, dan/atau jasa atau pemberianlainnya yang apabila dikonversi melebihi standar biaya umum dalamjangka waktu paling lama 3 (tiga) jam, dalam kegiatan tertentu secaralangsung maupun tidak langsung dari calon peserta Pemilu, pesertaPemilu, calon anggota DPR dan DPRD, dan tim kampanye; mencegah atau melarang suami/istri, anak, dan setiap individu yangmemiliki pertalian darah/semenda sampai derajat ketiga atau hubungansuami/istri yang sudah bercerai di bawah pengaruh, petunjuk, ataukewenangan yang bersangkutan, untuk meminta atau menerima janji,hadiah, hibah, pemberian, penghargaan, dan pinjaman atau bantuanapapun dari pihak yang berkepentingan dengan penyelenggaraan Pemilu; menyatakan secara terbuka dalam rapat apabila memiliki hubungankeluarga atau sanak saudara dengan calon, peserta Pemilu, atau timkampanye. Penutup Pemilihan Umum adalah upaya untuk membawa kehidupan, semangat biofilik ada didalamnya, dalam arti mengumpulkan cita-cita, aspirasi, identifikasi, warga dengan partai politik tertentu, yang dianggap sebagai saluran hidup. Pemilihan umum menjadi sarana dan insrumen kemanusiaan sosial dalam rangka menghimpun semua kekuatan politik yang terpolarisasi dalam pangung politik menjadi satu suara-suara yang pada rangkaian berikutnya bukan lagi berfungsi sebagai aspirasi politik semata tetapi memuat cita-cita dan harapan akan suatu kehidupan yang lebih baik, dan layak ari sebelum diselenggarakannya Pemilu.[5] Dengan demikian, kehormatan penyelenggaraan Pemilihan Umum merupakan hal penting dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Pemerintahan yang baikharus dijamin oleh proses dan hasil penyelenggaraan Pemilu yang kredibilitas serta berintegritas. Untuk mencapai Pemilu yang bermartabat maka kredibilitas dan integritas harus dimiliki oleh setiap anggota Penyelenggara Pemilu karena hal inimenjadi persoalan penting dalam membangun kepercayaan masyarakat.[6]       [1]Jimly Asshiddiqie, “Pengenalan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu”, Makalah, Forum Rapat Pimpinan Kepolisian Republik Indonesia, Jakarta, 12 Februari 2013. hlm.2. [2]Ibid, hlm, 2, 3. [3]Ibid, hlm, 3. [4]Ibid, hlm, 3. [5]Daniel Dhakidae,Memetakan Jalan, Bukit, dan Ngarai; Menuju Mean Pemilihan Umum, dalam buku Kompas – Salomo Simanungkalit (ed.), Peta Politik Pemiihan Umum 1999-2004, Buku Kompas, Jakarta, 2004 hlm, 39. [6]Jimly Asshiddiqie,Menegakkan Etika Penyelenggara Pemilu, Rajawali Pers, Jakarta, 2013, hlm, 134.

KULIAH TAMU “PENGUATAN SISTEM PEMILU MENUJU DEMOKRASI YANG BERKEADILAN” OLEH SIGIT PAMUNGKAS

Hupmas, KPU SURABAYA- Tidak ada sistem pemilu yang dapat disebut ideal, yang ada adalah sistem pemilu yang ‘favourable’ atau sesuai dengan kebutuhan atau permasalahan yang dihadapi oleh sebuah negara. ‘Favourable’ ini dikaitkan dengan kebutuhan untuk memperkuat sistem pemerintahan yang dianut oleh sebuah negara dan menjawab konteks sosial dari bekerjanya negara. Hal ini dipaparkan oleh Sigit Pamungkas, Komisioner KPU RI pada kuliah tamu yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Jember pada tanggal 21 September 2016 kemarin. Purnomo Satriyo Pringgodigdo, Komisioner KPU Kota Surabaya yang berkesempatan untuk hadir mengatakan, “Momen ini dapat digunakan sebagai pengayaan, tidak hanya bagi mahasiswa tetapi juga bagi kita, khususnya Penyelenggara di tingkat Kabupaten/Kota untuk belajar dan memperkuat pemahaman tentang kepemiluan,” ujar pria asli Surabaya tersebut.  Pada kesempatan itu, ada salah satu mahasiswa yang menanyakan tentang aktivitas dari KPU bila sedang tidak menyelenggara pemilihan, atau pemilihan umum. Pertanyaan ini pun kemudian dijawab oleh Sigit Pamungkas dengan menjelaskan bahwa Pemilihan, atau Pemilihan Umum sendiri dibagi menjadi 3 (tiga) tahapan, yaitu pre-election period, in-election period, dan post-election period. ”Pada saat post-election period inilah kami melaksanakan pendidikan pemilih dan pemutakhiran pemilih,” jelas Sigit Pamungkas. Di negara lain, jangankan pemutakhiran pemilih bahkan pemutakhiran penduduk dilakukan oleh KPU. Namun di Indonesia, karena undang – undang kita mensyaratkan pemutakhiran penduduk ditangani oleh Kemendagri, beserta jajarannya maka KPU lebih fokus pada pemutakhiran pemilih saja. Selain itu,  jika pemilihan dan pemilihan umum diselenggarakan secara serentak, sesuai dengan periodik yang dibutuhkan oleh sistem pemerintahan kita maka pemilihan akan diselenggarakan setiap 2,5 tahun yang akan menegaskan keberadaan KPU setiap 5 tahun.

HASILKAN KAJIAN PELAKSANAAN PILKADA SERENTAK TAHUN 2015 DI JAWA TIMUR

Hupmas, KPU SURABAYA- Setelah pelaksanaan Pilkada serentak oleh 16 kabupaten dan 3 kota di Jawa Timur pada 2015, Pemerintah Provinsi Jawa Timur melakukan evaluasi. Empat daerah menjadi obyek kajian, yaitu Kota Surabaya, Kabupaten Sumenep, Kabupaten Situbondo, dan Kabupaten Pacitan. Kajian dengan metode kualitatif (studi kasus) ini dilakukan oleh Lembaga Penelitian dan Inovasi (LPI) Universitas Airlangga Surabaya. Hasil penelitian mengenai Pilkada Serentak tersebut dipaparkan dalam Seminar Hasil Penelitian Badan Penelitian dan Pengembangan Pemerintah Provinsi Jawa Timur pada Kamis (22/09/2016) di Kantor Balitbang Pemprov Jatim. Ketua KPU Kota Surabaya, Robiyan Arifin dan Sekretaris KPU Kota Surabaya, Sunarno Aristono, berkesempatan untuk mengikuti pemaparan hasil kajian mengenai Pilkada Serentak tersebut. Robiyan menurutkan, berdasarkan hasil kajian oleh Tim LPI Unair, Pilkada Serentak meminimalisir potensi kerusakan akibat konflik sosial. Sebab, dengan pelaksanaannya yang bersamaan, ekspansi massa dari luar daerah minim sehingga kerusakan juga dapat diminimalisir. Namun, Pilkada Serentak baru dapat berjalan dengan efisien jika Pilwali/Pilbub dilaksanakanbersamaan dengan Pilgub atau Pilpres.  Alumnus Pascasarjana Universitas Bhayangkara tersebut menambahkan, untuk Surabaya, berdasarkan hasil kajian, pada Pilwali 2015 sudah terjadi peningkatan partisipasi pemilih sekitar 8 persen dibandingkan Pilwali 2010 lalu. Kenaikan ini termasuk tertinggi di Jawa Timur. ”Namun, sosialisasi harus ditingkatkan karena partisipasi masih kurang optimal,” jelas Robiyan.

DISKUSI REBOAN KPU SURABAYA, APA ITU E-KATALOG?

Hupmas, Surabaya – Melanjutkan diskusi Reboan minggu lalu tentang Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah. Kegiatan Reboan hari ini (21/09/2016), Agus Setiyono, Kepala Sub Bagian Umum, Keuangan dan Logistik KPU Surabaya selaku narasumber memaparkan tentang  Pengadaan Barang dan Jasa Logistik Melalui e-Katalog . Dalam paparannya Agus menjelaskan bahwa pelaksanaan pengadaan barang/jasa di Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara bertahap akan diubah dari sebelumnya konvensional menjadi secara katalog elektronik atau e-katalog. Prinsipnya, e-katalog ini untuk mempermudah proses pengadaan logistik untuk kebutuhan pemilu dan pilkada. Manfaat e-katalog antara lain dapat mengurangi biaya proses pengadaan, tidak perlu lagi menyusun Harga Perkiraan Sendiri (HPS), mengurangi resiko kegagalan lelang, terstandarnya spesifikasi teknis barang/jasa, mengurangi resiko hukum, dan memberikan rasa aman terhadap pengelola pengadaan, sehingga pengadaan barang/jasa menjadi efektif, efisien, dan akuntabel.  Agus juga mengungkapkan, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 4 Tahun 2015 juga mewajibkan Kementerian/Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah/Institusi melakukan e-Purchasing terhadap barang/jasa untuk dimuat dalam sistem katalog elektronik sesuai dengan kebutuhan, sehingga sudah waktunya KPU sebagai lembaga penyelenggara Pemilu mulai memasukkan perlengkapan penyelenggaraan Pemilu dan Pilkada melalui e-katalog. “e-katalog sangat mendukung dalam pelaksanaan Pemilu dan Pilkada yang serentak. Kemudahan dari e-katalog untuk Pemilu dan Pilkada dilakukan serentak dan berulang adalah tidak ada lagi pra kualifikasi, karena prakualifikasi telah dilakukan oleh tim gabungan dari KPU, Inspektorat, dan LKPP, sehingga akan didapatkan penyedia barang/jasa yang benar-benar kredibel,” ungkap pria asli Pacitan tersebut.

SUSUN INVENTARISASI KEBUTUHAN KERJA SAMA DENGAN LEMBAGA LAIN

Hupmas, KPU SURABAYA- KPU Kota Surabaya melanjutkan pembahasan evaluasi Rencana Kerja Tahunan (RKT) KPU Surabaya tahun 2016 pada rapat pleno rutin mingguan Selasa (20/09/2016). Salah satu materi yang dibahas adalah tentang penyusunan daftar inventarisasi kebutuhan kerja sama dengan lembaga lain. Ketua KPU Surabaya, Robiyan Arifin, mengungkapkan, sesuai dengan target kinerja KPU RI, yaitu terwujudnya koordinasi antar lembaga, KPU Surabaya  mulai menyusun kebutuhan kerja sama dengan lembaga lain. Robiyan mengusulkan agar KPU Surabaya menjalin kerja sama dengan Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispenduk Capil) Pemkot Surabaya terkait pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan. Selama ini kerja sama sudah berjalan cukup baik. KPU Surabaya sudah banyak didukung dengan data mutasi penduduk untuk melengkapi pemutakhiran daftar pemilih berkelanjutan. ”Kerja sama ini akan lebih mantap jika dikuatkan dengan adanya MoU (Memorandum of Understanding) dengan Dispenduk Capil,” ucap Robiyan. Selain menjalin kerja sama dengan Dispenduk Capil, Komisioner KPU Surabaya Divisi SDM dan Partisipasi Masyarakat, Nur Syamsi, mengusulkan agar KPU Surabaya juga menjalin kerja sama dengan Dinas Pendidikan serta lembaga pendidikan tinggi di Surabaya. ”Kerja sama dengan Dinas Pendidikan akan memungkinkan kita untuk melakukan pendidikan pemilih kepada para pemilih pemula di tingkat sekolah menengah atas,” jelas Nur Syamsi. Sementara kerja sama dengan lembaga pendidikan tinggi, menurut Nur Syamsi, selain untuk melaksanakan pendidikan pemilih kepada para mahasiswa juga akan bermanfaat bagi pengembangan ilmu dan penelitian mengenai kepemiluan. Rapat Pleno kemudian menginstruksikan agar Divisi SDM dan Partisipasi Masyarakat menyusun penawaran kerja sama kepada beberapa instansi dan lembaga pendidikan di Kota Surabaya yang telah diidentifikasi bersama.