Berita Terkini

APEL PAGI, SEKRETARIS INGATKAN TENTANG DISIPLIN

Hupmas, KPU Surabaya- Tepat pukul 08.00 pagi pada Senin (19/09/2016), Sekretaris KPU Surabaya, Sunarno Aristono memimpin apel pagi Sekretariat KPU Kota Surabaya. Aristono ingin mengecek kedisiplinan staf sekretariat dalam melaksanakan apel pagi. ”Beberapa kali apel pagi dipimpin oleh para kasubbag secara bergiliran. Kali ini, saya memimpin apel pagi, Alhamdulillah hanya kurang beberapa staf saja yang tidak apel karena sedang sakit dan tugas belajar,” ungkap Aristono.Pria penghobi olah raga tenis meja ini berharap agar disiplin staf yang sudah baik semakin ditingkatkan. Dalam apel tersebut, Aristono juga mengajak untuk mendoakan rekan-rekan staf yang sedang sakit agar segera diberikan kesembuhan.

BANTUAN KEUANGAN UNTUK PENDIDIKAN POLITIK DI KOTA SURABAYA

(Bagian I) Purnomo S. Pringgodigdo Komisioner KPU Surabaya Divisi Hukum Kata Kunci Partai Politik, Bantuan Keuangan, Pendidikan Politik, LHP, BPK, Surabaya   Bantuan keuangan bagi partai politik memberikan banyak catatan. Di luar catatan kritis terhadap keberadaannya, akan tetapi ada beberapa alasan mengapa bantuan keuangan menjadi elemen penting di dalam pembiayaan partai politik. Menurut Sujit Choudhry dkk  “Public funding can potentially provide a mechanism to promote the participation of under-represented sectors and party system institutionalization. It can also help to increase the competitiveness of the party system[1]” Tidak jauh berbeda, Ingrid van Biezen menyatakan “There are essentially three main reasons why the state may want to provide financial support to political parties: to compensate for the growing cost and the increasing scarcity of resources, to guarantee free and fair political competition, and to limit the potentially disruptive role of interested money’[2] Di dalam realitasnya, bantuan keuangan untuk partai politik ini juga terjadi di negara – negara lain. Menurut Dr. Marcin Walecki, di tahun 1928 Uruguay menjadi negara pertama yang memberikan bantuan keuangan dengan tujuan untuk menciptakan sistem multi partai dan untuk mendorong persamaan politik.[3] Hal ini kemudian disusul oleh Costa Rica dan Argentina.[4] Untuk Eropa sendiri, Jerman menjadi negara di benua ini yang menerapkan bantuan keuangan[5]. Di tahun 2011, Magnus Ohman PhD memaparkan bahwa “There are however significant regional variations. Whereas the practice is used in almost all European countries, less than 40% of the multiparty states in the Middle East for which data is available have adopted this approach. The early introduction of public funding systems in a series of Latin American countries seems to have had a limited contagion effect in the region since only around half of the countries have adopted public funding as a tool for regulating money in politics. It is also notable that the second highest region in terms of frequency of public funding provisions is Africa (though it is doubtful if the funds provided have a significant impact anywhere outside South Africa and possibly Mozambique)”[6]. Untuk konteks Indonesia, bantuan keuangan merupakan salah satu sumber keuangan partai politik[7] dan merupakan bagian dari hak partai politik.[8] Bantuan keuangan kepada Partai Politik digunakan paling sedikit 60% sebagai dana penunjang kegiatan pendidikan politik dan sisanya sebagai operasional sekretariat Partai Politik. Pendidikan politik dapat dilakukan melalui kegiatan seminar, lokakarya, dialog interaktif, sarasehan dan workshop sepanjang berkaitan dengan (a) pendalaman mengenai 4 (empat) pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;, (b) pemahaman mengenai hak-hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan (c) pengkaderan anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan. Sedangkan untuk kegiatan operasional sekretariat partai politik sendiri digunakan untuk (a) administrasi umum, (b) berlangganan daya dan jasa, (c) pemeliharaan data dan arsip, dan (d) pemeliharaan peralatan kantor. Yang dimaksud dengan administrasi umum antara lain belanja keperluan alat tulis kantor, rapat internal sekretariat Partai Politik, dan ongkos perjalanan dalam rangka mendukung kegiatan operasional sekretariat Partai Politik. Dan yang dimaksud dengan daya dan jasa  antara lain telepon, listrik, air minum, jasa pos dan giro, dan surat menyurat. Jika kita ambil secara spesifik untuk Kota Surabaya maka berdasarkan hasil kajian terhadap Laporan Hasil Pemerikasaan BPK perwakilan Provinsi Jawa Timur ditemukan bahwa 28,80% dari  Rp.678.484.000,00 dana yang disalurkan oleh Pemerintah Kota Surabaya pada tahun 2014 dikelola sesuai dengan ketentuan yang ada. Hal ini berarti dana yang pengelolaannya dinilai sesuai dengan ketentuan yang ada sebesar Rp. 15.400.274,00 sedangkan yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang ada sebesar Rp. 487.128.120,00. Sedangkan untuk tahun 2015, hasil rekapitulasi atas Laporan Hasil Pemeriksaan BPK perwakilan Provinsi Jawa Timur menunjukkan bahwa 19,0% dari  Rp.732.571.000,00 dana yang disalurkan oleh Pemerintah Kota Surabaya dikelola sesuai dengan ketentuan yang ada. Hal ini berarti dana yang pengelolaannya dinilai sesuai dengan ketentuan yang ada sebesar Rp. 139.639.422,00 sedangkan yang dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang ada sebesar Rp. 592.235.622,00. Berdasarkan tabel di bawah, kita akan dapat melihat bahwa masih ada banyak masalah dalam pengelolaan bantuan keuangan untuk partai politik.  Selama ini literatur yang ada lebih terfokus pada kegagalan sistem, termasuk partai politik di dalam mengelola bantuan keuangan yang diberikan oleh Pemerintah, ataupun oleh Pemerintah Daerah. Penulis hampir tidak menemukan adanya literatur yang mengupas Laporan Hasil Pemeriksaan yang dilakukan oleh BPK, ataupun kantor perwakilannya untuk melihat bagaimana pola pengelolaan bantuan keuangan oleh partai politik, ataupun pola – pola pemeriksaan, atau audit yang dilakukan oleh BPK. Situasi inilah yang hendak dilakukan oleh tulisan ini. Dengan melakukan kajian terhadap Laporan Hasil Pemeriksaan BPK (dalam hal ini adalah BPK perwakilan Provinsi Jawa Timur) terhadap bantuan keuangan yang diterima oleh partai politik di Surabaya agar kemudian dijadikan pelajaran agar partai politik, yang menerima bantuan keuangan tidak lagi mengulangi kesalahan yang sama dalam penyusunan laporan pertanggung jawaban, atau bahkan bisa mengelola bantuan keuangan ini menjadi lebih baik. Selain itu, melalui tulisan ini diharapkan muncul identifikasi terhadap perbaikan – perbaikan yang dapat dilakukan oleh BPK, terhadap pemeriksaan yang dilakukannya. Kota Surabaya diambil contoh dalam tulisan ini, setidak – tidaknya atas 2 (Dua) alasan yaitu penghargaan yang pernah diperoleh kota ini dari KPK terkait inisiatif antikorupsi ketagori pemerintah daerah di tahun 2011, serta penghargaan Bung Hatta Anti-Crruption Award di tahun 2015, yang pernah diperoleh Ibu Tri Rismaharini ketika dirinya menjadi Walikota Surabaya. Dengan penghargaan yang diperoleh Kota, beserta Walikotanya ini diharapkan bahwa perilaku mereka ini juga diikuti oleh partai politik – partai politik di Kota Surabaya. Sedangkan untuk pendidikan politik sendiri, dijadikan fokus karena menjadi salah satu fungsi partai politik sebagai sarana pendidikan politik bagi anggta dan masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.[9] Pendidikan politik sendiri didefinisikan sebagai proses pembelajaran dan peahaman tentang hak, kewajiban dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara[10] Selain itu, berbeda dengan pengeluarannya yang lain untuk pendidikan politik ini ada beberapa persyaratannya dalam pengelolaannya. Syarat yang pertama adalah nominal, dimana  bantuan Keuangan kepada Partai Politik digunakan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat paling sedikit 60 % (enam puluh persen)[11]. Syarat yang kedua adalah bahwa kegiatan pendidikan politik tersebut harus bertujuan[12] (a) meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; (b) meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara; dan (c) meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa. Syarat yang ketiga adalah bahwa Pendidikan politik berkaitan dengan kegiatan (a) pendalaman mengenai 4 (empat) pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia; (b) pemahaman mengenai hak-hak dan kewajiban Warga Negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan (c) pengkaderan anggota partai politik secara berjenjang dan berkelanjutan[13]. Syarat keempat adalah bahwa Kegiatan pendidikan politik dilaksanakan dengan memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender untuk membangun etika budaya politik sesuai dengan Pancasila. Dan yang terakhir adalah bahwa Bentuk kegiatan pendidikan politik, antara lain berupa seminar; (b) lokakarya; (c) dialog interaktif; (d) sarasehan; dan (e) Workshop. Secara struktur, tulisan ini akan dibagi menjadi 4(Empat) bagian. Bagian pertama adalah Pendahuluan, yang bertujuan untuk memberikan gambaran umum terhadap tulisan ini. Dilanjutkan dengan bagian kedua yang akan menggambarkan bagaimana pengelolaan bantuan keuangan untuk pendidikan politik di Kota Surabaya. Pada bagian ketiga dari tulisan ini akan dipaparkan tentang bagaimana tingkat kepatuhan pengelolaan bantuan keuangan untuk pendidikan politik di Kota Surabaya. Dan yang akan menjadi bagian terakhir adalah kesimpulan serta rekomendasi, yang diharapkan dapat menjawab tujuan daripada tulisan ini sendiri. (Bersambung……..) [1]Sujit Choudhry dkk, Political Party Finance Regulation : Constitutional Reform After the Arab Spring (New York, IDEA, 2014)  Hal 40 [2]Ingrid van Bezen, Financing Political Parties and Election Guidelines (Germany, Council of Europe, 2003) Hal 34 – 34 [3]Dr. Marcin Walecki , Public Funding in Established and Transitional Democracies sebagaimana diambil dari Public Funding Solutions for Political Parties in Muslim-Majority Societies (Washington, IFES, 2009) Hal 27 [4]ibid [5]ibid [6]Magnus Ohman, Global Trends in the Reulation of Political Finance (Sao Paulo, 2011) Hal 4 [7]Pasal 34 ayat (1) huruf c Undang – undang nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana dirubah melalui Undang – undang nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang – undang nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik [8]Pasal 12 huruf k Undang – undang nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana dirubah melalui Undang – undang nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang – undang nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik [9]Pasal 11 Undang – undang nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana dirubah melalui Undang – undang nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang – undang nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik [10]Pasal 1 angka 4 Undang – undang nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik, sebagaimana dirubah melalui Undang – undang nomor 2 tahun 2011 tentang Perubahan atas Undang – undang nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik [11]Pasal 9 ayat (3) Peraturan Pemerintah nomor 83 tahun 2012 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah nomor 5 tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Kepada Partai Politik [12]Pasal 23 ayat (1) Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 26 tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 23 tahun 2009 tentang Pedoman Tata Cara Penghitungan, Penganggaran Dalam APBD, Pengajuan, Penyaluran dan aporan Pertanggung Jawaban Penggunaan Bantuan Keuangan Partai Politik [13]Pasal 23 ayat (2) ibid

KUNJUNGAN KIP ACEH TENGAH DI SELA-SELA RAKORNAS PENGELOLAAN LOGISTIK

Hupmas, Surabaya-Dalam rangka menambah referensi tentang segala permasalahan pelaksanaan Pilkada khususnya Pilkada serentak, Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Tengah melaksanakan kunjungan ke KPU Kota Surabaya, Kamis (15/09/2016) di sela-sela mengikuti Rakornas Pengelolaan Logistik di Hotel Santika Premiere Surabaya, selama tiga hari (14 – 16 September 2016). Pengalaman penyelenggaraan Pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Surabaya Tahun 2015 yang berjalan lancar membuat Komisi Independen Pemilihan (KIP) Kabupaten Aceh Tengah tertarik untuk bertukar wawasan dengan KPU Kota Surabaya. Rombongan yang terdiri dari Kepala Sub Bagian Keuangan, Umum dan Logistik, Sunardi dan Staf Logistik Teuku Fachrul Rahmadi diterima oleh anggota KPU Kota Surabaya Divisi SDM dan Parmas, Nur Syamsi, dan Kepala Sub Bagian  Keuangan, Umum dan Logistik KPU Kota Surabaya, Agus Setiyono. Sunardi mengungkapkan bahwa Kabupaten Aceh Gayo akan menyelenggarakan Pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Tahun 2017. Selain untuk bersilaturahmi dengan jajaran KPU Kota Surabaya, kedatangan pertama kali ke Kota Surabaya ini untuk belajar dan mendapatkan gambaran yang lebih jauh tentang peran KPU Surabaya dalam Pilkada serentak Tahun 2015 yang lalu terutama mengenai tata kelola logistik, APK dan sosialisasi.  “Senang bisa bersilaturahmi ke KPU Surabaya yang telah sukses dalam penyelenggaraan Pilkada serentak 2015 yang lalu disela-sela kami mengikuti Rapat Koordinasi Nasional (Rakornas) Pengelolaan Logistik yang kebetulan dilaksanakan di Surabaya” ungkap Sunardi. Nur Syamsi, mewakili Komisioner KPU Kota Surabaya memaparkan bahwa KPU Surabaya memanfaatkan momen peliknya pencalonan dalam Pilwali sebagai sarana sosialisasi. ”Panjangnya tahapan pencalonan malah menjadi sarana bagi kami untuk menginformasikan kepada masyarakat bahwa akan ada Pilkada di Kota Surabaya,” jelas Nur Syamsi. Selain itu, lanjut Pak Syamsi, KPU Surabaya terus menerus bekerja sama dengan berbagai stakeholder, misalnya tokoh masyarakat, tokoh pemuda, dan tokoh agama. ”Kami memohon bantuan pemuka agama, tokoh pemuda, dan ormas menghimbau khalayaknya untuk berpartisipasi dalam Pilkada Surabaya,” kata Pak Syamsi. Dengan upaya tersebut, partisipasi pemilih di Surabaya naik 8 persen, yaitu 51,34 persen dibanding saat Pilkada 2010. Sementara itu mengenai masalah logistik dan APK dalam penyelenggaraan Pilwali Surabaya 2015 dijelaskan oleh Agus Setiyono selaku Kepala Sub Bagian Keuangan, Umum dan Logistik KPU Surabaya. “Semua berjalan cukup lancar dari proses pengadaan hingga pendistribusian, meskipun begitu masih perlu adanya perbaikan aturan mengenai alat peraga dan bahan kampanye. Kapan batas alat peraga kampanye diproduksi dan dipasang harus diatur. Demikian pula dengan bahan kampanye. Padahal keterlambatan juga karena adanya perubahan desain alat peraga dan bahan kampanye dari pasangan calon,” papar pria asli Pacitan tersebut.

MENENGOK PERANAN PEREMPUAN

Oleh: Nurul Amalia Komisioner KPU Surabaya Divisi Teknis Undang-undang Dasar 1945 pasal 27 ayat (1)  berbunyi: Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya.  Artinya konstitusi mengakui adanya kesamaan hak-hak politik warga negara, sehingga setiap warga negara mempunyai kesempatan yang sama untuk menduduki jabatan-jabatan publik, baik laki-laki maupun perempuan. Akan tetapi dalam kenyataannya tidak demikian, jumlah laki-laki yang menduduki jabatan-jabatan publik baik di lembaga legislatif, eksekutif maupun yudikatif, lebih dominan di banding perempuan, meski secara statistik jumlah laki-laki dan perempuan hampir seimbang  Hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kedudukan dan kesempatan yang sama bagi warga negara , ternyata tidak dengan serta merta dapat dinikmati oleh perempuan. Hasil survei BPS dari tahun ke tahun menunjukkan jumlah penduduk miskin, rendah pendidikan, rentan kesehatan dan kecil pendapatan, sebagian besar dialami perempuan. Ini berarti perempuan selalu pada posisi terpinggirkan, baik dalam jabatan-jabatan publik maupun dalam kehidupan sehari-hari. Jika kita telusuri, maka penyebab perempuan terpinggirkan dalam kehidupan sosial ekonomi sehari-hari akibat kebijakan yang tidak berpihak kepada peningkatan kualitas hidup perempuan, karena tidak ada perempuan yang terlibat dalam pengambil kebijakan di legislatif maupun eksekutif. Perempuan mengalami hambatan-hambatan untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Hambatan tersebut juga dipengaruhi dengan adanya perbedaan pandangan (diskriminasi) terhadap  peran , fungsi, dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan di berbagai tingkatan ,mulai dari keluarga (rumah tangga), budaya (tradisi), tempat kerja, sampai negara.  Sebagai contoh: di ranah keluarga, perempuan tidak boleh bekerja penuh waktu setelah menikah, laki-laki lepas dari tanggung jawab mengurus anak/ menjaga kebersihan rumah. Di ranah Budaya (tradisi), praktek perkawinan usia dini dengan alasan pelestarian budaya. Di tempat kerja, penolakan perempuan dalam proses rekrutmen pekerjaan tertentu, adanya sistem penggajian yang berbeda antara laki-laki dan perempuan.  Di ranah negara, perempuan tidak terlibat dalam pengambilan keputusan yang menyangkut urusan publik. Jika di analogikan dengan sebuah pohon, maka hambatan yang dialami perempuan dapat dijumpai mulai dari akar, batang, dahan sampai ranting sebuah pohon. Hambatan yang ada pada akar adalah:  nilai / tradisi yang menghambat atau merugikan peran atau posisi perempuan. Hambatan pada batang adalah: kondisi sosial, ekonomi dan politik yang merugikan peran atau posisi perempuan. Hambatan pada dahan adalah: pelaku/ peran masyarakat yang berpotensi menghambat peran atau posisi perempuan. Hambatan pada ranting adalah: kondisi diri perempuan yang menghambat peran atau posisi perempuan. Sehingga bisa dikatakan bahwa hambatan yang dialami perempuan itu sesungguhnya merupakan hambatan yang bersifat struktural. Agar pohon hambatan itu tidak tumbuh dan berkembang menjadi hambatan, maka akar pohon hambatan itu harus di selesaikan terlebih dahulu, yakni bagaimana memahamkan  warga negara terhadap nilai/ tradisi yang ada agar tidak lagi menjadi penghambat atau merugikan peran atau posisi perempuan. Ini bukanlah hal yang mudah, dibutuhkan waktu , tenaga, pikiran serta strategi untuk mewujudkannya. Kondisi perempuan yang belum sepenuhnya mempunyai peran  dan kedudukan yang setara dengan laki-laki meski memiliki hak yang sama inilah yang mengilhami diberlakukannya  affirmative action, dan kebijakan ini di jamin dalam amandemen ke 2 UUD 1945 pasal  27 H ayat (2)  yang berbunyi sbb: ‘Setiap orang berhak mendapatkan kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan’. Affirmative action merupakan  strategi untuk menyetarakan  kedudukan perempuan terhadap laki-laki. Perkembangan kebijakan afirmasi (affirmative action) Di Indonesia, sesungguhnya kebijakan memberikan kesempatan lebih besar kepada perempuan untuk tampil di arena publik sudah di mulai sejak lama, meskipun kebijakan tersebut diberikan secara bertahap. Adanya UU  68/ 1958  tentang Persetujuan Konpensi Hak-hak Politik Kaum Wanita menjadikan momen awal pengakuan terhadap hak perempuan untuk dipilih dan memilih dalam pemilu. Selanjutnya terbit UU 7/1984 tentang Pengesahan Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan. Namun dalam perjalanannya selama puluhan tahun, UU 68/1958 dan UU 7/1984 , belum bisa menampakkan hasil yang menggembirakan dalam prakteknya. Kebijakan afirmasi bagi perempuan dalam bidang politik baru mulai terasa sejak diberlakukannya UU 31/2002 tentang Partai Politik yang didalamnya menyebutkan bahwa kepengurusan partai politik harus memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender. Karena dalam undang-undang disebutkan hanya “memperhatikan” sehingga dalam praktek penerapannya, pengurus partai politik masih saja di dominasi laki-laki. Untuk kesekian kalinya negara belum berhasil menyetarakan kedudukan perempuan dan laki-laki dalam politik. Upaya untuk menerapkan kebijakan afirmasi bagi perempuan masih terus diperjuangkan. Jika dalam UU 31/2002 hanya menggunakan rumusan “memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender”, maka dalam UU 2/2008 tentang Partai Politik lebih konkrit lagi dengan “menyertakan 30% keterwakilan perempuan”. Tidak hanya itu, dalam UU 10/2008 tentang Pemilu anggota DPR,DPD  dan DPRD ditegaskan lagi: menyertakan sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan pada kepengurusan partai politik tingkat pusat (pasal 8 ayat (1) huruf d). Tidak hanya terbatas pada kepengurusan parpol, komposisi daftar bakal calon juga disyaratkan memuat paling sedikit 30% keterwakilan perempuan (pasal 53). Bahkan dalam setiap  3 orang bakal calon terdapat sekurang-kurangnya 1 orang perempuan bakal calon (pasal 55 ayat (2) ) yang selanjutnya di kenal dengan istilah zipper system.  Pada pengalaman di pemilu sebelumnya, selain jumlah perempuan yang tercantum dalam daftar bakal calon yang selalu minim, nomor urutnya pun di letakkan pada posisi yang tidak menguntungkan bagi perempuan, sehingga sulit untuk dapat bisa terpilih, yaitu di nomor urut paling buncit. Pemilih cenderung memilih nomor urut kecil karena posisi ada diatas dan kemungkinan lebih terbaca dibandingkan nomor urut yang berada paling bawah.  Oleh karena itu zipper system sedikit membantu agar peluang terpilihnya  perempuan lebih besar karena di letakkan pada nomor urut yang lebih kecil. Dari tiga urutan nomor, satu perempuan pasti masuk di daftar tersebut. Namun upaya ini mengalami kegagalan tatkala MK memutuskan bahwa pasal 214 huruf a s/d e tentang penetapan calon dengan nomor urut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, akibatnya pada pemilu tahun 2009  penetapan calon harus menggunakan suara terbanyak, bukan lagi berdasarkan nomor urut. Sejak diberlakukannya kebijakan afirmasi pada perempuan, setidaknya sudah mulai tampak perubahan-perubahan ke arah yang diinginkan, walaupun belum bisa memenuhi syarat  minimal 30%. Pemilu pertama setelah Orde Baru yaitu pemilu tahun 1999 berhasil mendudukkan 9,0% perempuan di DPR RI, pemilu tahun 2004 menempatkan 11,3% perempuan di DPR RI , pemilu tahun 2009 meningkat lagi menjadi 18,39%. Tetapi pada pemilu 2014 sedikit mengalami penurunan menjadi 17,32% perempuan terpilih di DPR RI. Dalam pemerintahan, jumlah kepala daerah  perempuan juga mengalami perkembangan. Apakah kebijakan afirmasi sudah cukup untuk mendorong agar perempuan bisa mendapatkan keadilan dan kesetaraan dalam  berpolitik dan pelayanan publik? Kurang lebih sudah tujuh belas tahun sejak tahun 1999-2016 diberlakukannya kebijakan afirmasi terhadap perempuan . Namun dari sisi jumlah, kuota 30% perempuan belum terpenuhi meski sudah tertuang dalam UU. Hal itu disebabkan karena: Tidak adanya sangsi yang tegas dalam UU bagi pelanggar ketentuan itu. Parpol yang tidak menyertakan 30% perempuan dalam kepengurusannya juga merasa aman-aman saja sehingga tak perlu repot-repot untuk mencari kader perempuan. Andaikan hal ini terdapat sangsi, misalnya ijin pendirian partai tidak dikeluarkan, atau didiskualifikasi sebagai peserta pemilu, maka niscaya semua partai akan mengikutinya. Kesimpulannya: kebijakan afirmasi pada perempuan masih setengah hati dijalankan. Tidak banyaknya perempuan yang terlibat di legislatif sebagai pembuat undang-undang. Perempuan sebagai pihak yang berkepentingan tidak bisa memperjuangkan lebih maksimal jika tidak terlibat langsung dalam memutuskan suatu persoalan yang menyangkut diri sendiri. Pada posisi sekarang, dominasi  laki-laki masih sangat tampak, baik dari sisi jumlah maupun di posisi-posisi kunci. Meskipun ada banyak perempuan Indonesia yang memiliki potensi, masih ditemui tantangan-tantangan untuk dapat berpartisipasi penuh dalam sistem politik yang ada serta dukungan dari kelompok yang berpengaruh dalam politik. Namun semua hal itu bisa saja terwujud : Jika bisa menempatkan perempuan yang cukup dalam legislatif minimal kuota 30%, sehingga keputusan yang dihasilkan akan bermanfaat banyak. Perempuan yang berada pada posisi strategis untuk pengambilan keputusan, membuat keputusan-keputusan yang diambil berspektif gender dengan memperhatikan kepentingan perempuan dan membuat perempuan kian berkembang. Dalam jangka panjang tidak membuat perempuan dalam posisi terpinggirkan. Pentingnya memahami kerjasama antara laki-laki dan perempuan di parlemen dapat menjamin isu-isu terkait kepentingan perempuan, anak dan keluarga mendapat perhatian yang lebih banyak. Perempuan penduduk yang jumlahnya hampir sama dengan laki-laki harus terwakili kebutuhan dan kepentingannya di dalam proses pembuatan kebijakan, mendorong keterbukaan akses, partisipasi,kontrol dan manfaat yang adil pada perempuan untuk mengurangi kesenjangan antara laki-laki dan perempuan dalam kehidupan politik dan pelayanan publik. Perempuan menjadi role model membangun kekuatan yang sinergis, menyatukan persepsi tentang prioritas pembangunan dan penguatan kapasitas perempuan. Keterlibatan aktif seluruh warga negara dalam pembangunan, baik laki-laki maupun perempuan diharapkan dapat membawa manfaat yang sama bagi seluruh warga negara.   Harapannya dalam setiap pengambilan kebijakan senantiasa dapat merasakan manfaat yang adil dari pembangunan. Selain itu diharapkan praktek-praktek diskriminasi terhadap perempuan secara struktural maupun kultural dapat ditiadakan.    

REBOAN KPU SURABAYA, DISKUSI TENTANG TRANSFORMASI PERATURAN PENGADAAN BARANG DAN JASA PEMERINTAH

Hupmas, KPU SURABAYA- Tepat Pukul 11.00 WIB Diskusi Reboan KPU Kota Surabaya dimulai. Sebagai narasumber dalam diskusi rutin mingguan kali ini (14/09/2016) adalah Dwi Setyo Hartokumoro staf Sub Bagian Umum. Dwi Setyo memaparkan materi tentang “Transformasi Peraturan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah”. Seperti yang telah diketahui, Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah telah mengalami tiga kali perubahan yaitu dengan Perpres Nomor 35 Tahun 2011, Perpres Nomor 70 Tahun 2012  serta Perpres Nomor 172 Tahun 2014 yang diundangkan tanggal 1 Desember 2014, dan diawal Tahun 2015 Presiden Jokowi telah menandatangani Perpres Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Perpres Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Penjelasannya yang mana telah diundangkan tanggal 16 Januari 2015. Dwi Setyo dalam paparannya menjelaskan bahwa hal penting dari Perpres No.4 Tahun 2015 adalah adanya upaya dari Pemerintah melalui LKPP terus memperbaharui Regulasi dan Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dalam rangka percepatan pembangunan yang berlandaskan asas efektif, efisien, transparan, terbuka, adil dan tidak diskriminatif, bersaing dan akuntabel. Pada awal Tahun 2015 ada dua regulasi yang penting yaitu  Perpres No.4 Tahun 2015 yang merupakan perubahan keempat Perpres 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah dan Intruksi Presiden No.1 Tahun 2015 tentang Percepatan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.  Kedua regulasi tersebut mengintruksikan bahwa pengadaan barang/jasa harus dimulai dengan perencanaan yang matang serta proses pengadaan yang lebih awal  secara elektronik dan yang tidak kalah pentingnya adalah PPK dilarang menambah persyaratan yang tidak perlu/bertentangan dengan aturan pengadaan. “Oleh karena itu alasan untuk mendapat penyedia/rekanan yang baik dengan menambahkan persyaratan yang bertentangan dengan aturan tidak dianjurkan. Justru akan dicurigai ada permainan didalamnya. Misalnya sudah merancang spesifikasi yang dimiliki oleh satu kelompok penyedia,” ungkap Dwi Setyo. Beberapa hal baru ada di dalam Perpres Nomor 4 Tahun 2015 diantaranya adalah bahwa yang melakukan proses pemilihan penyedia dalam Pengadaan Langsung, Penunjukan Langsung, dan E-Purchasing adalah Pejabat Pengadaan, selain itu penyedia dalam pelaksanaan pengadaan barang/jasa, dipersyaratkan antara lain memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak  (NPWP) dan telah memenuhi kewajiban perpajakan tahun terakhir. “Jadi dari segi persyaratnya pun semakin dipermudah,” tambah pria yang hobi tenis meja ini.