Berita Terkini

BATIK, KEBAYA, DAN SANGGUL DI HARI KARTINI KITA

21 April 2015 terdapat pemandangan yang tidak biasa di KPU Kota Surabaya. Ya, segenap jajaran KPU dan Sekretariat kompak mengenakan busana khas nusantara dalam rangka memperingati Hari Kartini. Para perempuan menggunakan kebaya dan sanggul sedangkan laki-laki menggunakan pakaian batik. Selain untuk menguatkan keindonesiaan kita, hal ini dimaksudkan sebagai sebuah refleksi diri terhadap arti penting perjuangan atau emansipasi perempuan dan kesetaraan gender. Emansipasi yaitu dalam hal pemenuhan kembali hak-hak dasar yang sebelumnya dirampas atau bahkan diabaikan dari kaum perempuan. Kesetaraan gender dalam artian suatu tatanan kesetaraan yang tidak membedakan antara peran laki-laki dan perempuan terkait dengan hak-haknya dalam ranah publik seperti dalam bidang hukum, politik, pendidikan, dan bidang lainnya.

Kartini, melalui perjuangannya dalam mencerdaskan dan menuntut hak yang sama atas pendidikan kaum perempuan Indonesia pada masa kolonial telah membuktikan diri bahwa emansipasi perempuan dapat diwujudkan meski dengan semua keterbatasan dan sistem sosial yang tidak mendukung. Tidak hanya Kartini, ada banyak tokoh perempuan Indonesia yang berjuang secara damai di era kolonial, sebut saja Rohana Kudus di bidang jurnalistik, Rasuna Said yang ditangkap Belanda karena kritik kerasnya terhadap pemerintah saat itu. Jauh sebelumnya kita juga sudah familiar dengan nama-nama Malahayati dari Aceh, Cut Nyak Dien, Cut Meutia, dan Martha C. Tiahahu.

Pada tahun 1982, John Naisbitt dan Patricia Aburdune dalam bukunya ‘Megatrends 2000’ meramalkan bahwa perempuan akan mengambil semua peran dalam berbagai lini kehidupan. Ramalan tersebut menemukan tempatnya di era globalisasi dimana dedomestifikasi menjadi mainstream dan keterlibatan perempuan di sektor publik meningkat pesat terutama dengan kemampuan menduduki posisi-posisi penting yang sebelumnya identik sebagai domain kaum laki-laki.

Dalam konteks demokrasi dan politik di Indonesia, melalui serangkaian regulasi yang mengatur penyelenggaraan pemilu yang mensyaratkan kuota 30 persen keterwakilan perempuan merupakan bentuk affirmative action untuk menjamin representasi perempuan dalam politik. Tujuannya adalah untuk meningkatkan partisipasi perempuan di lembaga-lembaga politik sehingga kaum perempuan dapat menyalurkan aspirasinya dan lebih berperan aktif dalam perumusan kebijakan nasional untuk menghindari kebijakan-kebijakan yang diskriminatif.

Dengan semua dukungan institusional terhadap kaum perempuan untuk mewujudkan equality in diversity, ada baiknya kita meneladani apa yang diutarakan oleh Vandana Shiva bahwa feminisme yang dikembangkan seyogyanya adalah dengan memerankan kualitas feminisme yang baik. Kiprah perempuan dalam ranah publik tidak mengharuskannya menjadi seorang maskulin, tetapi aktualisasi kualitas feminimnya adalah warna tersendiri dalam kebersamaan tersebut, saling peduli, memelihara dan menjaga semua kebaikan-kebaikan hakiki tersebut.

Bagikan:

facebook twitter whatapps

Telah dilihat 903 kali