Berita Terkini

Pemilu Berintegritas Dapat Meningkatkan IDI

Hupmas, KPU SURABAYA- KPU Kota Surabaya bersama KPU Provinsi Jawa Timur, SKPD Pemerintah Provinsi Jawa Timur, Bakesbangpol Kabupaten/Kota se-Jawa Timur, serta perwakilan tokoh masyarakat dan Ormas di Jawa Timur menghadiri  “Pendidikan Kemasyarakatan Produktif dalam rangka Pemantapan dan Penguatan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI)” di kantor Bakesbangpol Provinsi Jawa Timur Kamis (24/11). Kepala Bakesbangpol Provinsi Jawa Timur, Jonathan Judianto, menyampaikan bahwa Bakesbangpol Provinsi Jawa Timur telah melakukan studi komparatif di beberapa Kabupaten/Kota di Jawa Timur untuk mengetahui apa saja yang menjadi kelebihan dan apa saja yang masih menjadi kekurangan dalam indeks demokrasi di Jawa Timur. IDI  menjadi penting untuk mengukur tingkat demokrasi pada suatu wilayah berdasarkan beberapa komponen penilaian. “Di tahun 2015 IDI Jawa Timur mengalami lompatan yang cukup tinggi, tapi kita tetap butuh perjuangan untuk meningkatkannya di atas 80%, karena Jawa Timur sangat beragam dan kompleks,” kata Jonathan Bertindak sebagai narasumber adalah Teguh Pramono (Kepala Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur), Priyatmoko Dirdjosuseno (Dosen FISIP Universitas Airlangga) dan Zainal Abidin Achmad (Dosen Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur). Teguh Pramono melalui materi berjudul “Menginterpretasikan Indeks Demokrasi Indonesia Jawa Timur”, menyampaikan bahwa tujuan dan manfaat IDI antara lain untuk menghadirkan “statistical evidence” dengan fokus pada pengukuran secara kuantitatif tingkat pelaksanaan demokrasi dan menentukan level demokrasi. Komponen IDI terdiri atas 11 variabel yang merupakan penjabaran dari 3 aspek, yaitu kebebasan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, kebebasan berkeyakinan, kebebasan dari diskriminasi, hak memilih dan dipilih, partisipasi politik dalam pengambilan keputusan dan pengawasan, pemilu yang bebas dan adil, peran DPRD, peran partai politik, peran birokrasi pemerintah daerah, serta peran peradilan yang independen. IDI di Jawa Timur pada tahun 2015 berada di peringkat 9 dari 36 provinsi di Indonesia dengan nilai 76,90, meningkat dari nilai 70,36 di tahun 2014. “Ada 3 aspek yang dalam IDI, yaitu kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi,” kata Teguh Pramono. Pemateri kedua, Priyatmoko Dirdjosuseno memaparkan tentang “Peranan Parpol dan Ormas/LSM dalam Pemantapan dan Penguatan Indeks Demokrasi Indonesia”. Demokrasi di Indonesia semakin berkembang ketika reformasi dimulai, dengan tujuan untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dalam seluruh sendi kehidupan. Keberagaman masyarakat di Indonesia menjadi salah satu unsur yang mempengaruhi proses penilaian IDI. “Hidup bersama dalam arena kebebasan identik dengan perbedaan, tidak ada kebebasan ke arah persamaan, itu menjadi konsekuensi logis yang harus diantisipasi sejak awal,” kata Priyatmoko. Narasumber terakhir, Zainal Abidin Achmad menyampaikan materi tentang “Mengupas Kondisi Indeks Demokrasi Indonesia Jawa Timur Rentang Tahun 2013 hingga 2015”. Indeks Demokrasi Indonesia sederhana, hanya terdiri dari 28 indikator, berbeda dengan Indeks Demokrasi negara  lain yang mempunyai lebih banyak indikator. Tetapi metode dalam pemberian Indeks Demokrasi Indonesia lebih lengkap, karena sumber data yang variarif. “Hanya Indeks Demokrasi Indonesia yang melibatkan media dalam proses pemberian nilai”, kata Zainal. Komisioner KPU Surabaya Divisi Umum, Keuangan, dan Logistik, Miftakul Ghufron yang menghadiri kegiatan bersama Kasubbag Hukum, Octian Anugeraha, menyampaikan bahwa KPU Kota Surabaya bisa ikut serta berperan dalam meningkatkan Indeks Demokrasi Indonesia di Jawa Timur melalui variabel-variabel yang telah ditentukan, yaitu pemilu yang bebas dan adil. “Kami di KPU Kota Surabaya terus berupaya meningkatkan pelayanan bagi pemilih disabilitas di TPS. Salah satunya dengan menyiapkan templete dan menyiapkan TPS agar aksesnya optimal bagi penyandang disabilitas”, kata Ghufron.

Peran Media Sosial Dalam Kampanye Politik

Hupmas, KPU SURABAYA-Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) menyatakan, pengguna internet di Indonesia hingga bulan Juli 2016 telah mencapai 82 juta orang. Dengan capaian tersebut, Indonesia berada pada peringkat ke-8 di dunia. Hal itu diungkapkan oleh Staf Subbag Teknis dan Hupmas, Ratna Rosanti saat memaparkan materi ”Peran Medsos Dalam Kampanye Politik” di Forum Diskusi Reboan pada Rabu (23/11/2016) di Kantor KPU Kota Surabaya. Di awal paparannya, Ratna menjelaskan bahwa efektifitas kampanye melalui social media sangat prospektif terutama bagi kalangan masyarakat terpelajar yang tersebar di kota-kota besar dengan penetrasi internet yang cukup baik. “Sosmed saat ini bisa dikatakan sebagai media yang paling cepat dalam penyampaian pesan karena besar potensi untuk terciptanya "getok tular" (viral marketing),” jelas Ratna. Ketika Barack Obama mencalonkan diri sebagai presiden Amerika Serikat pada Tahun 2008, beliau memanfaatkan secara penuh kekuatan internet, khususnya media sosial sebagai alat kampanye politik. Media dan akademisi di negara itu kemudian membanding-bandingkan penggunaan media sosial dalam kampanye Obama dengan peran televisi dalam kampanye Presiden John F. Kennedy. Kejelian Obama memanfaatkan media sosial ternyata juga diikuti Prabowo Subianto dan Joko Widodo, kontestan Pilpres Tahun 2014. Jumlah penggemar Prabowo di Facebook mencapai 7.425.440 orang. Linimasa Facebook Prabowo banyak diisi fotonya ketika berkampanye keliling Indonesia, dan video berisi dukungan sejumlah tokoh dan orang-orang biasa. Demikian juga dengan laman Facebook Jokowi yang disukai 3.311.213 orang, diisi dengan banyak foto dan video. Laman ini tampaknya dikelola secara rutin karena menampilkan informasi terbaru, seperti dukungan harian  The Jakarta Post terhadap Jokowi. Yang menarik dicermati, Jokowi melengkapi iklannya di media tradisional dengan memasang banner di Facebook. Iklan tersebut sangat menonjol karena dipasang di halaman log in Facebook, bukan iklan kecil di samping atau di dalam News Feed. Dengan kata lain, seluruh pengguna Facebook yang hendak log in ke dalam akunnya akan melihat iklan Jokowi. Melihat kecepatan internet Indonesia yang terus membaik, dan meluasnya adopsi smartphone hingga ke seluruh penjuru tanah air, bisa dipastikan peran media sosial dalam persaingan politik di Indonesia akan kian menguat, dan fenomena di tingkat nasional ini pun telah diduplikasi oleh elite-elite tingkat lokal dalam pelaksanaan Pilkada. “Jika para pengguna media sosial dapat menggunakannya dengan benar, tentu tidak hanya akan mendapat teman, tapi juga akan mendapatkan follower yang setia. Untuk itu gunakanlah sosial media secara santun,” pungkas perempuan asli Jogjakarta tersebut.      

Partisipasi Jangan Berhenti Di Kampus

Hupmas, KPU SURABAYA- Pemungutan suara dalam rangka pemilihan Presiden Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) dan Dewan Perwakilan Mahasiswa (DPM) Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) tahun 2016  berakhir Rabu (23/11/2016). Berdasarkan data pada pukul 13.00, sekitar 60 persen pemilih menggunakan hak pilihnya secara elektronik di 31 TPS yang disediakan. Pemilu secara elektronik di ITS tahun 2016 dilaksanakan pada 21-23 November 2016. Ketua Komisi Pemilihan ITS, Heru Fatkhurohmat, mengungkapkan, pada hari pertama e-Voting, pemilih berduyun-duyun mendatangi TPS. ”Di hari terakhir ini tidak banyak pemilih karena sudah banyak yang menggunakan hak pilihnya di hari pertama dan kedua,” jelas Heru. Pada pukul 14.00, pemungutan suara di seluruh TPS ditutup. Selanjutnya, Komisi Pemilihan ITS bersama Panitia Pemilihan Umum (PPU) melaksanakan Tabulasi Akhir Pemilihan Umum Calon Presiden BEM dan Calon DPM ITS. ”Hasil penghitungan suara dari setiap TPS akan direkap pada malam nanti,” ungkap Heru. Anggota KPU Surabaya Divisi Teknis, Nurul Amalia, serta  Divisi SDM dan Partisipasi Masyarakat, Nur Syamsi, memberikan apresiasinya kepada Ketua Komisi Pemilihan ITS, PPU, dan KPPS yang bekerja keras menyiapkan dan melaksanakan Pemilu di ITS. “Apa yang kawan-kawan lakukan hari ini, Insya Allah akan bermanfaat di kemudian hari ketika berkecimpung dalam kehidupan demokrasi di masyarakat,” ucap Nurul Amalia kepada petugas KPPS di TPS Jurusan Kimia FMIPA ITS. Sementara itu, Nur Syamsi menyampaikan harapannya kepada para petugas Pemilu ITS 2016. Praktik partisipasi dalam demokrasi melalui Pemilu di ITS, lanjut Nur Syamsi, jangan sampai berhenti sampai di sini. Sebab, generasi muda adalah penerus yang menentukan arah kemajuan Indonesia. ”Jika di daerah kalian dilaksanakan Pemilu nasional atau Pilkada, turutlah berpartisipasi. Tidak hanya menggunakan hak pilih tetapi juga menjadi penyelenggaranya. Tentu, selama persyaratan terpenuhi,” tutur Nur Syamsi.    

E-KTP Sebagai Jaring Pengaman Pemilih dalam Pemilu, Mungkinkah?

Oleh: Anieq Fardah* Mendekati Pelaksanaan Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2017 mendatang, KPU sebagai penyelenggara Pemilu dihadapkan pada persoalan data pemutakhiran pemilih yang tidak sepele. Pasal 57 undang-undang No.10 tahun 2016 tentang pemilukada serentak menyebutkan bahwa untuk dapat menggunakan hak pilih, warga negara harus terdaftar sebagai pemilih, dan pada ayat selanjutnya disebutkan bahwa, apabila warga negara yang berhak memilih tidak terdaftar dalam voter list (daftar pemilih), yang bersangkutan dapat menunjukkan E-KTP pada hari pemungutan suara. Sebagai alat bukti kewarganegaraan dan kepemilikan hak pilih, E-KTP menjadi alat politik warga negara dalam mendapatkan hak untuk memilih dan dipilih. Aturan tentang pemutakhiran daftar pemilih haruslah memperhatikan banyak aspek tentang definisi kewarganegaraan dan kependudukan yang luas dan mendalam, sehingga hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu memiliki dasar hukum dan pertimbangan sosial yang luas dan mencakup semua etnis dan suku bangsa yang ada di Indonesia. Tulisan ini akan berdiskusi tentang potensi keuntungan dan kerugian terhadap persoalan wajibnya E-KTP dalam perundangan Pemilu kepala daerah, dan proses pendaftaran pemilih, Siapa yang sebenarnya bertanggungjawab atas akurasi daftar pemilih dan keabsahan E-KTP sebagai identitas kewargaan yang berfungsi sebagai alat Eligibilitas warga negara dalam pemilu? Bagaimana negara menilai dan menggunakan konsep kewarganegaraan dalam proses perekaman E-KTP yang wajib. Serta bagaimana KPU menindaklanjuti ancaman untuk tingginya kemungkinan Absentee Voter akibat  irisan dari himpunan pemilih yang tidak terdaftar dalam daftar pemilih dan tidak pula memiliki E-KTP? Isu penggunaan E-KTP dalam pemilu berfungsi sebagai jaring pengaman pemilih, artinya jika dalam kasus-kasus tertentu pemilih, tidak dapat menyalurkan hak pilihnya karena tidak mendapatkan undangan memilih, atau tidak terdaftar dalam DPT, E-KTP menjadi solusi yang dapat melindungi hak pilih warga negara. Meski tampak menjanjikan, E-KTP dapat menjadi bumerang bagi penyelenggara pemilu apabila tidak dicermati secara mendalam. Beberapa kasus penyalahgunaan E-KTP yang tercatat di media diantaranya, Pemalsuan E-KTP[1] meski jumlah yang ditumukan belum signifikan, tetapi temuan ini dapat melukai integritas penyelenggaraan pemilu, malprakten yang akan rawan terjadi diantaranya, pemilih yang melakukan coblos ganda, dan mobilisasi penduduk untuk memilih pada hari H, satu jam sebelum TPS ditutup. Pada Pilkada DKI yang berlangsung saat ini misalnya, sebanyak 34.147 dari 155.001 orang di Jakarta selatan belum bisa didaftar karena belum melakukan perekaman E-KTP, di Jakarta Utara ada 60.766 orang belum masuk ke daftar pemilih sementara (DPS) karena masih memiliki E-KTP. Tangerang selatan, diketahui 102.681 orang belum memiliki E-KTP yang berakibat pada tidak terakamnya data tersebut sebagai pemilih dalam DPS[2] Proses pendaftaran pemilih pemilu di Indonesia mengalami Evolusi. Dalam sejarah pemilu di Indonesia, pendaftaran pemilih adalah satu tahapan esensial, yang menentukan apakah sebuah pemilu tersebut di golongkan sebagai pemilu yang demokratis atau tidak. Dalam parameter pemilu demokratis yang di tulis berdasarkan konvenan internasional menyebutkan bahwa semua tahapan pemilu harus berdasarkan undang-undang yang mengacu pada sistem hukum nasional[3], Pendaftaran pemilih adalah salah satu tahapan pemilu yang diatur secara nasional dan sebesar-besarnya mengakomodasi semua pemilih yang berhak memilih (Eligible Voter). Standar terlaksananya pemutakhiran daftar pemilih yag baik ada dua yaitu; (1) aspek kualitas demokrasi dan (2) Standar kemanfaatan teknis[4]. Sebagai negara yang menerapkan pemilu—baik di tingkat lokal maupun nasional dalam proses sirkulasi kepemimpinan, penyelenggara pemilu dihadapkan pada persoalan integritas dan keadilan bagi warga negara yang berhak memilih. Dalam banyak kasus di temukan banyak warga negara yang bahkan tidak memiliki identitas kependudukan, Memiliki KTP ganda, dan tidak melakukan update identitas dalam proses pemutakhiran pemilih. Pada masa orde baru terdapat pemilu, dan berbagai tahapan pemilu yang di atur sedemikian rupa sehingga hasil pemilu sudah dapat di prediksi bahkan jauh sebelum pemilu berlangsung, dunia internasional tidak menganggap pemilu tersebut sebagai pemilu yang dilaksanakan secara demokratis. Beberapa catatan atas pelanggaran dalam pemutakhiran data pemilih banyak terjadi dalam pemilu orde baru misalnya, (1) pendaftaran pemilih yang hanya berbasis pada pendukung partai tertentu, (2) Pendaftaran Pemilih yang Eksklusif, (3) pendaftaran pemilih yang Manipulatif. Tentunya pelanggaran tersebut tidak serta merta berhanti pada saat orde baru telah mencapai akhir masanya. Pasca orde baru juga ditemukan banyak sekali proses-proses pendaftaran pemilih yang menipulatif, yang mencoreng integritas penyelenggara pemilu. Beberapa contoh pelanggaran pendaftaran pemilih tersebut;[5] misalnya a. Pendaftaran Pemilih dilaksanakan di  rumah petugas pendaftar, b. Petugas mendaftar pemilih yang tidak memenuhi syarat pemilih, c. Petugas sengaja tidak mendatangi kelompok/pemilih tertentu, d. Petugas hanya mendaftar simpatisan Partai Politik tertentu, e. Petugas mendaftar pemilih lebih dari satu kali, dst. Prinsip-Prinsip global yang mendasari pendaftaran pemilih dan pendaftaran sipil adalah payung dari bagaimana seharusnya Pemerintah dan KPU bersikap terhadap isu ini. Dalam buku publikasi IFES  “Civil and Voter Registries: Lesson Learned From Global Experience” (Yard, 2011) disebutkan bahwa turunan dari prinsip “Umum” (Universal)  dan “Setara”(Equal Sufferage) adalah a. Intergitas, artinya Proses Pendaftaran Pemilih dan Sipil harus berasaskan keadilan, kejujuran, dan sungguh-sungguh. b. Inklusif. Prinsip ini menjelaskan, bahwa setiap individu yang telah masuk kriteria menjadi pemilih dan masuk kriteria mendapatkan identitas kependudukan, harus terpenuhi haknya tanpa terkecuali. c. Komprehensif, artinya setiap orang di seluruh pelosok negeri, termasuk kelompok rentan, masyarakat marjinal, penduduk dengan disabilitas, penduduk sebagai pemilih pemula, dan penduduk dengan pola hidup berpindah, harus terdaftar dalam sistem d. Akurasi, prinsip ini menjadi tolak ukur dari ketepatan petugas pemutakhiran dan pendaftaran pada saat melaksanakan tugasnya. Beberapa data yang diperlukan dalam daftar pemilih ber irisan dengan data yang ada dalam sistem kependudukan. Itulah sebabnya untuk mendapatkan data pemilih yang akurat, harus dimulai dengan data sumber dari pendaftaran sipil dengan standar akurasi baku. Petugas pendaftar atau Petugas pelayanan untuk pendaftaran sispil, harus dibekali pola pikir pelayanan prima dan kemampuan teknis yang terstandar. e. Akesibilitas, setiap warga negara yang berhak memilih atau mendapatkan kartu identitas, harus dengan mudah medapat dan mengakses informasi publik ini. Hak Memilih dan Hak untuk memiliki identitas yang legal, adalah hak asazi yang wajib di penuhi oleh negara. Hak-hak kewargaan ini secara khusus menjadi kepentingan dan sekaligus tanggungjawab lembaga KPU sebagai penyelenggara pemilu, dan Dinas Kependudukan di bawah kementrian dalam negeri. Undang-undang Pilkada no. 10 tahun 2016 pasal 57 tentang Penggunaan E-KTP sebagai jaring pengaman pemilih, harus di cermati sebagai dasar hukum melindungi hak kewargaan, sekaligus sebagai alat koreksi bagi pemerintah untuk menyegerakan pelayanan E-KTP dan menghapuskan segala tantangan yang memberatkan warga negara untuk mendapatkannya.   Anieq Fardah * Mahasiswa S2 Jurusan Ilmu Politik Konsentrasi Tata Kelola Pemilu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga     [1] http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/umum/16/08/26/ochnnz-warga-masih-banyak-memakai-ektp-palsu [2] http://print.kompas.com/baca/regional/metropolitan/2016/11/02/Ratusan-Ribu-Warga-Belum-Terdaftar [3] Standar-standar Internasional Untuk Pemilu [4] ACE-Electoral Knowledge Network, “Quality Standart of Voter List” [5] Aribowo, Pemilu 1999; Transisi dan negara lemah, dalam buku Model-Model Sistem pemilihan di Indonesia, Pusdeham, Surabaya, 1999

Membangun Nilai Kebangsaan dan Kebhinekaan Dalam Dialog Kebangsaan

Hupmas, KPU SURABAYA- Indonesia merupakan negara yang terdiri atas beragam suku bangsa, budaya dan agama. Oleh karena itu, potensi munculnya konflik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sangat mungkin terjadi. Namun, potensi konflik dapat diminimalisir dengan manajemen konflik yang tepat. Hal itu diungkapkan oleh Kepala Kepolisian republik Indonesia (Kapolri) Jenderal Tito Karnavian dalam Dialog Kebangsaan yang digagas oleh DPRD Provinsi Jawa Timur, Sabtu (19/11/2016) lalu. Bertempat di Ruang Rapat Paripurna DPRD Provinsi Jawa Timur Jl. Indrapura Nomor 1 Surabaya, acara diikuti oleh perwakilan DPRD Kabupaten/Kota Se- jawa Timur, FORMIPDA Provinsi Jawa Timur, Kepala Daerah Se-Jawa Timur, Ketua KPU KPU Se- Jawa Timur, Perguruan Tinggi, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, dan Tokoh Kepemudaan. Tito Karnavian menjelaskan, meskipun terdiri atas beragam entitas, Indonesia tetap bersatu karena adanya empat pilar kebangsaan yaitu, Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, NKRI, dan UUD 1945. “Agar mudah diingat empat pilar itu disingkat menjadi PBNU,” kata Jendral bintang empat tersebut. Sementara itu, Pangdam V Brawijaya, Mayor Jenderal TNI I Made Sukadana, mewakili Panglima TNI Jenderal TNI Gatot Nurmantyo, juga menjadi narasumber dalam acara tersebut. I Made Sukadana menjelaskan bahwa saat ini sedang terjadi proxy war yaitu perang yang terjadi ketika lawan kekuatan menggunakan pihak ketiga sebagai pengganti berkelahi satu sama lain secara langsung. Lawan menggunakan boneka untuk memainkan perannya. Memahami proxy war, lanjut I Made Sukadana, bukan untuk membuat kekhawatiran kita bersama. Akan tetapi, untuk memberikan pencerahan dan pemahaman bahwa inilah situasi dunia dan ancaman nyata yang kita hadapi, yang berpengaruh langsung kepada Indonesia dan kepada kita semua. I Made Sukadana menghimbau agar masyarakat selalu waspada bahwa negara yang lemah dan lengah menjadi peluang masuknya segala bentuk ancaman nyata. ”Kualitas diri serta kesadaran nasionalisme dan keteladanan harus dibangun dan dipersiapkan secara dini,” imbuh I Made Sukadana.