Berita Terkini

UNDANG-UNDANG NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG APARATUR SIPIL NEGARA (ASN)

Dipresentasikan oleh Drs. Andam Riyanto – Kasubbag Program dan Data Menurut Undang-Undang No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) disebutkan bahwa yang dimaksud ASN adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS) yang diangkat sebagai pegawai tetap oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) dan memiliki nomor induk pegawai secara nasional dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) yang diangkat sebagai pegawai dengan perjanjian kerja oleh Pejabat Pembina Kepegawaian (PPK) sesuai dengan kebutuhan Instansi Pemerintah dan ketentuan Undang-Undang ASN. Jabatan ASN terdiri dari jabatan administratif, jabatan fungsional, dan jabatan pimpinan tinggi. Kelembagaan Presiden selaku pemegang kekuasaan pemerintahan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan Manajemen Aparatur Sipil Negara (ASN). Untuk menyelenggaraan kekuasaan dimaksud, Presiden mendelegasikan kepada: a. Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (PAN-RB) berkaitan dengan kewenangan perumusan dan penetapan kebijakan, koordinasi dan sinkronisasi kebijakan, serta pengawasan atas pelaksanaan kebijakan ASN; b. Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) berkaitan dengan kewenangan monitoring dan evaluasi pelaksanaan kebijakan dan Manajemen ASN untuk menjamin perwujudan Sistem Merit serta pengawasan terhadap penerapan asas kode etik dan kode perilaku ASN; c. Lembaga Administrasi Negara (LAN) berkaitan dengan kewenangan penelitian, pengkajian kebijakan Manajemen ASN, pembinaan, dan penyelenggaraan pendidikan dan pelatihan ASN; dan d. Badan Kepegawaian Negara (BKN) berkaitan dengan kewenangan penyelenggaraan Manajemen ASN, pengawasan dan pengendalian pelaksanaan norma, standar, prosedur, dan kriteria Manajemen ASN. Manajemen ASN diselenggarakan berdasarkan Sistem Merit, yang berdasarkan pada kualifkasi, kompetensi, dan kinerja secara adil dan wajar dengan tanpa membedakan latar belakang poltik, ras, warna kulit, agama, asal-usul, jenis kelamin, status pernikahan, umum, atau kondisi kecacatan. Manajemen ASN ini meliputi Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) dan Manajemen Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK). Dalam pasal 68 disebutkan bahwa PNS diangkat dalam pangkat dan jabatan tertentu pada Instansi Pemerintah berdasarkan perbandingan objektif antara kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi, kualifikasi, dan persyaratan yang dimiliki oleh yang bersangkutan. Jenis jabatan yang dapat diisi oleh Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) diatur dengan Peraturan Presiden. Selanjutnya, setiap Instansi Pemerintah wajib menyusun kebutuhan jumlah dan jenis jabatan PPPK berdasarkan analisis jabatan dan analisis beban kerja. Penyusunan kebutuhan jumlah PPPK sebagaimana dimaksud dilakukan untuk jangka waktu minimal 5 (lima) tahun yang diperinci per 1 (satu) tahun berdasarkan prioritas kebutuhan, dan ditetapkan dengan Keputusan Menteri. (Pasal 94 Ayat 4). UU ini menegaskan, setiap warga negara Indonesia mempunyai kesempatan yang sama untuk melamar menjadi calon PPPK setelah memenuhi persyaratan. Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya pada kementerian, kesekretariatan lembaga negara, lembaga nonstruktural, dan Instansi Daerah dilakukan secara terbuka dan kompetitif di kalangan Pegawai Negeri Sipil (PNS) dengan memperhatikan syarat kompetensi, kualifikasi, kepangkatan, pendidikan dan latihan, rekam jejak jabatan, dan integritas serta persyaratan lain yang dibutuhkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan madya sebagaimana dimaksud dilakukan pada tingkat nasional (Pasal 108 Ayat 2). Pengisian Jabatan Pimpinan Tinggi di Instansi Pusat Untuk pengisian jabatan pimpinan tinggi utama dan/atau madya, panitia seleksi Instansi Pemerintah memilih 3 (tiga) nama calon untuk setiap 1 (satu) lowongan jabatan. Tiga nama calon pejabat yang ter[ilih disampaikan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian. Selanjutnya, Pejabat Pembina Kepegawaian mengusulkan 3 (tiga) nama calon sebagaimana dimaksud kepada Presiden. Presiden memilih 1 (satu) nama dari 3 (tiga) nama calon yang disampaikan untuk ditetapkan sebagai pejabat pimpinan tinggi utama dan/atau madya (Pasal 112 Ayat 4). Jadi Pejabat Negara dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) menegaskan, pejabat pimpinan tinggi madya dan pejabat pimpinan tinggi pratama yang akan mencalonkan diri menjadi gubernur dan wakil gubernur, bupati/walikota, dan wakil walikota wajib menyatakan pengunduran diri secara tertulis dari Pegawai Negeri Sipil (PNS) sejak mendaftar sebagai calon.

PERINCIAN TUGAS SUBBAGIAN KEUANGAN UMUM DAN LOGISTIK

Dipresentasikan Raditya Dwita Ardana, SE – Plt. Kasubbag Umum dan Logistik KPU Kota Surabaya Berdasarkan PKPU Nomor 04 Tahun 2010, tugas bagian keuangan meliputi mengelola dan menyusun rencana subbagian keuangan dengan mengalokasikan dan mengkoordinasikan pelaksanaan anggaran sesuai dengan DIPA, memberi informasi terbaru menyangkut penggelolahan keuangan yang menjadi kewenangan KPU Kabupaten/Kota, sesuai dengan peraturan menteri keuangan dan PKPU, menyusun dan mengelola bahan peneliti laporan keuangan rutin, Membuat laporan Catatan atas laporan keuangan (CALK) setiap Triwulanan, Menyusun laporan rekonsiliasi keuangan tiap Bulan ke KPPN  dan KPU Provinsi, menyiapkan dan menyusun bahan-bahan untuk keperluan realisasi anggaran  SAI  (Sistem Akuntansi Instansi) dan  LPJ/LPAK, Menyusun Laporan SAI (Sistem Akuntansi Instansi) tiap bulan, Menyusun Laporan pertanggung jawaban keuangan (LPJ/LPAK) tiap bulan, menyusun dan memperbaharui apabila ada peraturan atau ketentuan keuangan yang terbaru, (Disesuaikan dengan Peraturan Menteri keuangan dan Peraturan KPU, dan seterusnya. Tugas bagian umum/tata usaha meliputi mengelola dan menyusun rencana Subbagian Umum, menyusun dan melakukan urusan kearsipan, surat-menyurat, dan ekspedisi juga pengiriman surat, pengarsipan, kepegawaian, pustaka, dan seterusnya. Tugas bagian umum/rumah tangga meliputi menyusun dan mengelola urusan rumah tangga, menyusun dan melakukan urusan perlengkapan di subbagian masing-masing, dan mengelola dan memelihara barang inventaris milik negara. Tugas bagian umum/logistik meliputi mengelola dan menyusun rencana subbagian logistik, menyusun dan mendokumentasikan laporan pelaksanaan kegiatan subbagian penyusunan, pengolahan data, dan dokumentasi kebutuhan sarana Pemilu,  mengumpulkan dan mengolah bahan alokasi barang kebutuhan Pemilu serta membuat laporannya, mengalokasikan barang keperluan Pemilu, dan menyusun dan merencanakan alokasi kebutuhan sarana Pemilu bagi panitia Pemilu. Disampaikan dalam ‘Diskusi Reboan’ KPU Kota Surabaya, 20 Oktober 2014

STUDI LAPANGAN MAHASISWA ITS SURABAYA

Rabu 15 Oktober 2014, KPU Kota Surabaya menerima kunjungan mahasiswa ITS Surabaya terkait studi lapangan mata kuliah sosial humaniora dan mata kuliah wawasan kebangsaan dengan dosen pembimbing Niken Prasetyawati, SH., MH. Secara khusus kunjungan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat partisipasi masyarakat Surabaya pada Pemilu Legislatif (Pileg) dan Pemilu Presiden 2014 (Pilpres) di Kota Surabaya. Bp. Purnomo Satrio P. dan Ibu Nurul Amalia menerangkan bahwa partisipasi pemilih dihitung dari jumlah pemilih terdaftar ( DPT, DPK, DPTB, DPKTB) dibagi dengan jumlah pemilih yang menggunakan hak pilih. Di Surabaya jumlah pemilih Pileg 1.233.092, sedangkan jumlah pemilih Pilpres 1.408.159 dengan partisipasi pemilih secara umum untuk Pileg mencapai 61% dan Pilpres 67,51%. KPU Kota Surabaya juga memberikan data-data terkait sebagai bahan penelitian kepada mahasiswa mengenai data pemilih dan data partisipasi pemilih untuk pemilu legislatif.

PENYELENGGARAAN PEMILUKADA PASCA TERBITNYA PERPPU NO 1 TAHUN 2014 & PERPPU NO 2 TAHUN 2014

Dipresentasikan Drh. Sunarno Aristono, M.Si – Sekretaris KPU Kota Surabaya PERPPU No. 1 Tahun 2014 dikeluarkan oleh Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono karena UU Nomor 22 Tahun 2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota dengan mekanisme  pemilihan secara  tidak langsung melalui DPRD telah mendapatkan penolakan yang luas oleh rakyat dan pengambilan keputusannya tidak mencerminkan demokrasi, juga terdapat kegentingan yang memaksa (sesuai persyaratan pada Putusan MK Nomor 138/PUU-VII/2009). Implikasi dari diberlakukannya PERPPU No. 1 Tahun 2014 & PERPPU No. 2 Tahun 2014 bagi penyelenggaraan Pemilihan Walikota Surabaya, yaitu: Pemilihan Walikota dipilih secara langsung dengan beberapa perbaikan mendasar (PERPPU  Nomor 1 Tahun 2014) dan dihapusnya kewenangan DPRD Kota untuk memiilih Walikota (PERPPU  Nomor 2 Tahun 2014). Beberapa prinsip utama dalam pelaksanaan Pemilihan Walikota yaitu terkait dengan dilaksanakannya pemilu setiap 5 (lima) tahun sekali secara serentak di seluruh wilayah NKRI dan Calon Kepala Daerah harus mengikuti proses Uji Publik (pasal 3 & pasal 5 (3) PERPPU  Nomor 1 Tahun 2014). Berkaitan dalam hal pendanaan dalam penyelenggaraan Pemilihan Walikota dalam pasal  166  PERPPU  Nomor 1 Tahun 2014 dijelaskan bahwa ”Pendanaan  kegiatan  Pemilihan Walikota dibebankan pada APBN dan dapat didukung melalui APBD sesuai ketentuan  peraturan perundang-undangan”. Warga negara Indonesia yang mendaftar sebagai bakal Calon Gubernur, bakal Calon Bupati, dan bakal Calon Walikota yang diusulkan oleh Partai Politik, gabungan Partai Politik, atau perseorangan wajib mengikuti Uji Publik. Partai Politik atau gabungan Partai Politik dapat mengusulkan lebih dari 1 (satu) bakal Calon Gubernur, bakal Calon Bupati, dan bakal Calon Walikota untuk  dilakukan Uji Publik. Uji Publik diselenggarakan oleh panitia Uji Publik, Panitia Uji Publik  beranggotakan 5 (lima) orang yang terdiri atas 2 (dua) orang berasal dari unsur akademisi, 2 (dua) orang berasal dari tokoh masyarakat, dan 1 (satu) orang anggota KPU Provinsi atau KPU Kabupaten/Kota,  Uji Publik dilaksanakan secara terbuka paling lambat 3 (tiga) bulan sebelum pendaftaran Calon Gubernur, Calon Bupati, dan Calon Walikota. Disampaikan dalam ‘Diskusi Reboan’ KPU Kota Surabaya, 15 Oktober 2014.

PENGEMBANGAN KOMUNIKASI EFEKTIF: TINJAUAN PERSPEKTIF PRINSIP RAHMATAN LIL ‘ALAMIN DAN PRAGMATIS

Drs.Ec. H. Eko Walujo Suwardyono, MM – Komisioner KPU Kota Surabaya Periode 2009-2014 “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” [QS. Al-Furqon (25:63)] I.    PENDAHULUAN Disadari atau tidak, komunikasi selalu terjadi dalam kehidupan sehari-hari ketika seseorang berinteraksi dengan lingkungannya. Bahkan sejak bayi dalam kandungan dan tangisan saat lahir, itu menjadi tanda komunikasi. Secara khusus, komunikasi merupakan hubungan kontak antara sesama manusia selaku individu maupun kelompok (organisasi). Dalam kenyataannya sering dijumpai berbagai konflik yang menjurus konflik yang merusak dalam berbagai bidang kehidupan. Sebagai contoh ‘kecil’ dilingkungan organisasi, yaitu ketika sistem administrasi dan pengambilan keputusan menjadi terhambat karena kesalahan komunikasi. Jika dibiarkan, pada gilirannya akan merusak sistem organisasi dan kelangsungan hidup organisasi itu sendiri. Setiap manusia mempunyai sifat dan kepribadian yang berbeda meskipun seorang anak lahir kembar identik. Karena itu Islam mengatur tatacara dan etika bergaul sehingga mampu berinteraksi sinergis dengan orang lain. Berdasarkan arti firman Allah dalam QS. Al-Furqon diatas, maka sikap tawadhu’ (rendah hati) serta pengucapkan kata-kata yang baik (Qaulan Salaamah) dalam hubungannya dengan orang lain merupakan sikap berkomunikasi yang sangat mulia. Sabda Rasulullah: “Sesungguhnya Allah telah memberi wahyu kepadaku, yaitu engkau sekalian hendaklah bersikap tawadhu sehingga tidak ada seseorang bersikap sombong kepada yang lain, dan tidak ada seseorang yang menganiaya yang lain.” [HR. Muslim]. Dalam riwayat lain Anas RA berkata: “Bila ada budak di Madinah memegang tangan Nabi SAW, maka beliau pergi mengikuti kemana budak itu menghendaki.” [HR. Bukhari]. Dari kedua hadits ini tampak jelas ketauladanan Rasulullah terhadap sikap tawadhu’ dengan tidak membedakan status sosial. Tulisan ini tidak membahas berbagai konsep, teori dan metode komunikasi secara pragmatis atau teknis maupun bentuk studi kasus. Tulisan ini hanya tinjauan ulang tentang prinsip pengembangan komunikasi efektif berdasarkan kaidah Rahmatan Lil ‘Alamin serta konsep dasar teori pengembangan komunikasi efektif pragmatis yang sesuai. Dengan kata lain, tulisan ini dimaksudkan sebagai upaya untuk mengembangkan komunikasi efektif yang berakar pada perspektif Rahmatan Lil ‘Alamin. II. PRINSIP KOMUNIKASI RAHMATAN LIL ‘ALAMIN Komunikasi dalam prinsip Rahmatan Lil ‘Alamin ditujukan untuk mewujudkan hubungan vertikal antara manusia dengan Allah SWT dan hubungan horisontal antar sesama manusia. Hubungan vertikal dilakukan dengan amal ibadah, sedangkan komunikasi horisontal melalui amal shalih di berbagai bidang seperti sosial, budaya, ekonomi, politik, dan seni. Muara dari dua sisi komunikasi tersebut adalah meningkatnya ketaqwaan dan juga terbentuknya transformasi masyarakat yang lebih baik dalam naungan prinsip Rahmatan Lil ’Alamin (membawa rahmat bagi semua). Sudah tentu komunikasi berdasarkan prinsip Rahmatan Lil ‘Alamin ini sangat berbeda dengan konsep komunikasi dalam perspektif pemikiran‘Barat’. Prinsip ini cenderung memandang komunikasi dari sisi pragmatis, materialistik-duniawi dan menekankan pada kapitalisme semata. Pesan dalam kegiatan komunikasi diarahkan pada capaian keuntungan secara materi baik antar individu maupun mengeruk keuntungan melalui sarana komunikasi massa seperti media cetak maupun elektronik. Aspek moral dan etika cenderung terabaikan, sehingga berbagai produk komunikasi yang dihasilkan seringkali membawa dampak negatif yang besar. Komunikasi sesuai dengan prinsip Rahmatan Lil ‘Alamin sangat mengutamakan etika, keakuratan informasi serta pertanggung-jawaban. Hal ini juga telah diatur dalam Al Qur’an, sebagaimana firman Allah SWT dalam Surat Ali Imran [3: 159], Surat Al Hujarat [49: 6] dan Surat Al-Isra’ [17: 36]: “Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu ma`afkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu . Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.” [QS. Ali Imran (3:159)] “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu.” [QS. Al-Hujurat (49:6)] “Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya.” [QS. Al-Isra’ (17: 36)] Prinsip-prinsip dalam Al Qur’an tersebut bisa disarikan menjadi tiga konsep yaitu (1). Qawlan Sadidan, (2). Qawlan Balighan, dan (3). Qawlan Layyinan. Qawlan Sadidan artinya pembicaraan yang benar, jujur, lurus, tidak bohong, tidak berbelit-belit. Benar artinya sesuai dengan kriteria kebenaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah baik dalam bentuk lisan maupun tulisan. Qawlan Balighan yang berasal dari kata “baligh” yang artinya sampai, mengenai sasaran, atau menciptakan tujuan. Ini berarti pembicaraan harus jelas maknanya, serta tepat dalam pengungkapannya. Oleh karena itu dalam konsep Qawlan Balighan, dapat diterjemahkan sebagai prinsip komunikasi yang efektif. Konsep ketiga yaitu Qawlan Layyinan, yang berarti perkataan yang lembut yaitu mengedepankan persuasi dan mengarahkan pada solusi yang bijaksana. III. KOMUNIKASI EFEKTIF PRAGMATIS Menurut Steward L. Tubbs dan Sylvia Moss dalam bukunya “Human Communication” (1999), komunikasi dianggap efektif apabila menghasilkan 5 hal: (1) pengertian, (2) kesenangan, (3) pengaruh pada sikap, (4) hubungan sosial yang makin baik, dan (5) tindakan nyata. Yang dimaksud dengan ‘pengertian’ adalah terdapatnya penerimaan yang baik dari isi pesan sebagaimana yang dimaksud oleh sumber pesan. Kemudian, komunikasi disebut efektif jika menghasilkan kesenangan bagi penerima pesan, seperti ucapan “Apa kabar?”. Komunikasi seperti ini yang menyebabkan hubungan yang penuh keakraban dan kehangatan. Komunikasi juga disebut efektif jika menghasilkan perubahan sikap melalui ajakan secara persuasif dari pemberi pesan kepada penerima pesan. Selanjutnya komunikasi efektis harus mampu meningkatkan kualitas hubungan sosial yang makin baik. Penelitian dari ahli bidang psikologi Philip G. Zimbardo dari Stanford University (1978) membuktikan bahwa kurangnya komunikasi menyebabkan seseorang bersifat lebih agresif, sering merusak dan berkurangnya rasa bertanggung jawab. Sebelumnya, Vance Packard (1974) juga menyatakan bahwa kegagalan komunikasi untuk menumbuhkan hubungan interpersonal dapat menyebabkan seseorang menjadi: agresif, senang merusak, senang berkhayal, ‘dingin’, sakit fisik dan mental serta terkena ‘flight syndrome’ (melarikan diri dari lingkungannya). Selanjutnya keseluruhan proses komunikasi akan menjadi efektif jika pada akhirnya menghasilkan tindakan nyata dari penerima pesan. Menurut Steven R. Covey, dalam bukunya “The 7 Habits of Highly Effective People” (1989): “The single most important principle in the field of interpersonal relations is this: Seek first to understand, then to be understood. Most people listen, not with the intent to understand, but with the intent to reply”. Hal ini menunjukkan bahwa dalam hubungan intrapersonal faktor yang terpenting adalah sikap seseorang untuk berupaya mengerti orang lain lebih dahulu, baru kemudian meminta diri sendiri dimengerti. Steven R. Covey mengusulkan 5 (lima) pondasi membangun komunikasi efektif : 1.    BERUSAHA MENGERTI ORANG LAIN Ini adalah dasar dari apa yang disebut emphatetic communication (komunikasi empatik). Bentuk komunikasi tertinggi adalah komunikasi empatik, yaitu melakukan komunikasi untuk terlebih dahulu mengerti orang lain, memahami karakter dan maksud tujuan atau peran orang lain. Kebaikan dan sopan santun yang kecil-kecil begitu penting dalam suatu hubungan, sehingga “hal-hal yang kecil adalah hal-hal yang besar”. 2.    MEMENUHI KOMITMEN ATAU JANJI Melanggar janji adalah kesalahan yang terbesar 3.    MENJELASKAN HARAPAN Penyebab dari hampir semua kesulitan dalam hubungan berakar di dalam harapan yang bertentangan atau berbeda sekitar peran dan tujuan. Harapan harus dinyatakan secara eksplisit. 4.    MINTA MA’AF SECARA TULUS JIKA TERJADI KESALAHAN Meminta maaf ketika kita membuat kesalahan bukanlah perbuatan yang memalukan. Cobalah untuk mengakui kesalahan kita dan meminta maaf secara tulus. Ini perbuatan terpuji. 5.    MENUNJUKKAN INTEGRITAS PRIBADI Integritas merupakan pondasi utama dalam membangun komunikasi yang efektif. Karena tidak ada pesahabatan atau teamwork tanpa ada kepercayaan (trust), dan tidak akan ada kepercayaan tanpa ada integritas. Integritas mencakup hal-hal yang lebih dari sekadar kejujuran (honesty). Kejujuran mengatakan kebenaran atau menyesuaikan kata-kata dengan realitas. Integritas menyesuaikan realitas dengan kata-kata kita. Integritas bersifat aktif, sedang kejujuran bersifat pasif. IV. KESIMPULAN Konteks pengembangan komunikasi efektif  hendaknya dikembalikan pada akar hakikat kehidupan manusia yang Rahmatan Lil ’Alamin. Hal itu untuk mencegah terjadinya ekses proses komunikasi yang tidak dikehendaki, khususnya etika dan moralitas. Dengan demikian keharusan untuk berpegang pada proses komunikasi yang penuh dengan sikap tawadhu’, memahami etika komunikasi, keakuratan informasi dan pertanggung-jawaban (kepada Allah SWT dan sesama) menjadi prinsip komunikasi efektif yang tidak boleh ditinggalkan. Upaya untuk melakukan pengembangan komunikasi efektif baik secara individu maupun kelompok (organisasi) perlu dilakukan terus menerus. Hal ini mengingat visi dan misi individu dan kelompok hakikatnya untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Karena itu, evaluasi kinerja individu dan kelompok (organisasi) sudah seharusnya tidak mengabaikan komunikasi efektif sebagai faktor penentu yang sangat penting. Surabaya, 6 Februari 2012 Tulisan ini juga dimuat dalam majalah HALOKPU Edisi I, Maret 2012

INDEPENDENSI: PERILAKU UTAMA PENYELENGGARA PEMILU

Edward Dewaruci, SH., MH – Komisioner KPU Kota Surabaya Periode 2009-2014 Dalam Undang-Undang No. 15 tahun 2011 yang diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), calon anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) boleh berasal dari partai politik. Tapi Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.81/PUU-IX/2011 telah menutup kesempatan itu. Aktivis partai baru bisa menjadi anggota KPU jika sudah mundur dari keanggotaan partai sekurang-kurangnya lima tahun pada saat mendaftarkan diri menjadi calon anggota KPU. Alasan utama keputusan MK sebagaimana diajukan oleh para pemohon judicial review terhadap undang-undang tersebut adalah untuk menjaga independensi dan fairness penyelenggara pemilu. Pemilu adalah ajang kompetisi, bagaimana mungkin kompetisi bisa berjalan dengan fair jika panitia penyelenggara dan juri-jurinya berasal dari para kompetitor. Begitulah kira-kira asumsi yang dibangun. Pemilu merupakan peristiwa politik yang sangat penting dan punya pengaruh besar dalam perjalanan republik selama lima tahun. Karena besarnya pengaruh itu maka banyak sekali pihak-pihak yang berkepentingan untuk ikut mengintervensi jalannya Pemilu, baik Pemilu untuk memilih anggota legislatif maupun Pemilu untuk memilih pasangan Presiden dan Wakil Presiden. Jika dalam Pemilu Legislatif, partai-partai punya kepentingan secara langsung, maka dalam hal pemilihan Presiden, partai-partai bisa jadi hanya sekedar “perantara” dari kepentingan yang lebih besar, kecuali jika kita menganut sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, partai-partai punya pengaruh sangat besar dalam pemilihan kepala pemerintahan. Fakta bahwa yang berkepentingan dengan Pemilu tak semata-mata partai politik membuat kita yakin bahwa independensi KPU tak bisa direduksi hanya semata-mata karena pengaruh partai politik. Independensi KPU bukan persoalan yang sederhana karena menyangkut kepentingan seluruh komponen bangsa yang ada di republik ini. Berdasar pengalaman terdahulu Pemilu bisa karut marut disebabkan absennya ketiga hal (profesionalitas, kejujuran, dan keadilan), dan yang bisa terjamin jika adanya sikap Independen dari penyelenggara pemilu KPU sampai jajaran terdepannya (PPK-PPS). Profesionalisme dalam hal ini ada dua kategori, yang bersifat teknis dan non-teknis. Yang teknis berkaitan langsung dengan detail juklak dan juknis penyelenggaraan Pemilu, sedangkan yang non-teknis menyangkut penanganan masalah-masalah sosial yang secara langsung berhubungan dengan penyelenggaraan Pemilu. Kejujuran adalah sebuah sikap yang paling sulit dilakukan tapi mau tidak mau harus diterapkan oleh penyelenggara pemilu, bersikap terbuka dan selalu dapat mempertanggungjawabkan setiap keputusan/kebijakan yang diambil. Keadilan sebagai sikap yang harus dijunjung karena memperlakukan sama semua peserta pemilu, tidak ada pilih kasih atau diskriminasi, baik menyangkut pelayanan maupun penyampaian informasi. Undang-undang bukanlah kitab suci yang tidak boleh diganggu-gugat. Itu sebabnya, langkah Mahkamah Konstitusi mengoreksi Undang-Undang Penyelenggara Pemilihan Umum tak bisa disalahkan. Apalagi tujuannya amat bagus, yakni menjaga independensi Komisi Penyelenggara Pemilu. Putusan MK memang sering dikritik karena cenderung membuat aturan baru. Begitu pula kali ini. Tapi langkah ini mesti dilihat sebagai upaya menyelamatkan demokrasi sesuai dengan semangat konstitusi. Soalnya, aturan dalam UU Nomor 15/2011 tentang Penyelenggara Pemilu cenderung menabrak prinsip demokrasi. Aturan mengenai syarat calon anggota KPU itu dituangkan dalam Pasal 11 huruf i dan pasal 85 huruf i. Intinya, setiap kader partai politik boleh mendaftar menjadi komisioner di KPU asalkan mengundurkan diri dari partai. Bisa dibayangkan, betapa kacaunya komisi ini bila para politikus masuk ke sana. Lembaga ini akan menjadi ajang pertarungan antarpartai. Independensinya bakal dipertanyakan. Itu sebabnya, MK mengoreksi aturan tersebut. Dua pasal mengenai syarat calon anggota KPU itu tetap diberlakukan sepanjang dimaknai dengan pengertian baru. Seorang calon anggota KPU harus mengundurkan diri dari partai politik minimal lima tahun sebelum mendaftarkan diri. Penyempurnaan pasal itu dilakukan setelah Mahkamah menerima permohonan uji materi dari sederet lembaga swadaya masyarakat. Lembaga-lembaga ini amat peduli terhadap penyelenggaraan pemilu yang adil dan demokratis. Keadaan yang ideal sulit dicapai bila orang-orang partai dibiarkan masuk ke KPU. Kalangan partai politik yang sejak semula ingin masuk ke KPU tentu sulit menerima putusan itu. Di antara mereka bahkan secara tak etis menyerang Ketua MK Mahfud Md. dengan mengatakan ia punya agenda politik dengan putusan tersebut. Mereka juga beralasan, tidak adanya wakil partai di KPU akan membuat mereka gampang dicurangi, ditelikung. Dalih itu sungguh janggal. Cara berpikir mereka negatif, penuh syak wasangka. Bagaimana mereka bisa menilai anggota baru KPU yang akan dipilih akan melakukan kecurangan? Kalau memang tidak ingin ditelikung, pilihlah anggota Komisi yang bersih. Bukankah DPR juga akan menyaring para calon komisioner? Lagi pula, “menitipkan” orang ke komisi ini hanya menguntungkan partai-partai besar. Anggota KPU hanya enam orang, plus seorang ketua. Padahal partai politik jumlahnya berkali lipat. Kalau orang partai diperbolehkan masuk, bisa dipastikan mereka hanyalah orang-orang dari partai besar. Partai kecil dan baru tak memiliki “wakil”. Sebetulnya masih ada bolong, kendati undang-undang pemilu telah dikoreksi MK. Partai-partai masih mungkin “merayu” anggota KPU yang sedang bertugas agar memberi keuntungan kepada mereka. Imbalannya boleh jadi jabatan di partai itu begitu pemilu selesai. Maka sebetulnya harus diatur pula bahwa seorang bekas anggota KPU tidak boleh menjadi pengurus partai. Aturan seperti itu akan membuat KPU semakin terbebas dari intervensi kepentingan partai politik. Meski begitu, putusan MK tetaplah sebuah kemajuan, hal yang semestinya disokong pula oleh partai-partai jika mereka benar-benar menginginkan pemilu yang bersih dan adil, Putusan MK ini positif, memberikan kepastian tentang makna independensi penyelenggara pemilu. Orang boleh saja tidak percaya pada kredibilitas partai politik (parpol).Namun, hal itu tidak boleh terjadi pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Yang terpenting dari independensi KPU adalah dari aspek kelembagaan. Independensi KPU secara kelembagaan berarti seluruh infrastruktur dan staf yang ada di KPU, termasuk perangkat lunak (teknologi informasi/IT) yang digunakan, harus bisa difungsikan untuk kepentingan semua partai politik peserta Pemilu, tidak ada prioritas untuk partai A, B, atau C. Pemerintah, atau kekuatan mana pun tidak boleh melakukan intervensi yang membuat KPU berlaku tidak adil. Sekali KPU membuat kesalahan fatal dan mengakibatkan masyarakat tidak percaya pada hasil kerjanya, maka produk berupa legalitas wakil rakyat dan pemerintah juga akan dipertanyakan masyarakat. Begitu pun jika KPUD tidak lagi kredibel, kita khawatir bahwa produknya juga diragukan masyarakat. Jika terjadi demikian, hal itu akan merobohkan demokrasi dan wibawa pemerintah. Tulisan ini juga dimuat dalam Majalah HALOKPU Edisi I, Maret 2012