
PARTISIPASI PEMILIH BUKAN SEKEDAR DATANG DI TPS
Dari Pemilu ke Pemilu, kurangnya partisipasi pemilih di Surabaya selalu menjadi perhatian dari berbagai pihak. Salah satunya adalah peneliti FISIP UIN Sunan Ampel, Moh. Ilyas Rolis. Berikut adalah hasil wawancara Hupmas KPU Surabaya dengan Ilyas Rolis.
Secara umum, bagaimana anda melihat karakter masyarakat perkotaan memandang hubungan antara Pemilu/Pemilihan dengan perbaikan taraf kehidupan mereka?
Justru yang melihat hubungan antara Pemilu dengan perbaikan taraf hidup adalah masyarakat pedesaan. Di pedesaan, memang angka kehadiran pemilih di TPS relatif tinggi. Namun, yang terjadi seringkali bukan partisipasi melainkan mobilisasi pemilih.
Partisipasi pemilih lahir dari kesukarelaan masyarakat untuk terlibat aktif dalam setiap tahapan Pemilu. Sementara mobilisasi hadir karena adanya transaksi material kepada pemilih yang memotivasi mereka untuk hadir ke TPS. Mobilisasi ini digerakkan oleh partai politik maupun tim sukses.
Pada masyarakat perkotaan di mana tingkat pendidikan dan ekonomi relatif lebih mapan, mobilisasi transaksional semacam ini tidak banyak terjadi. Kalaupun ada, terjadi pada kantong-kantong kemiskinan kota.
Inilah tantangan yang sesungguhnya, transaksi ekonomi dalam demokrasi.
Bagaimana anda melihat tingkat partisipasi masyarakat perkotaan dibanding masyarakat pedesaan dalam setiap penyelenggaraan Pemilu/Pemilihan?
Selama ini partisipasi pemilih selalu diukur dengan prosentase kehadiran di TPS. Namun, menurut saya, partisipasi pemilih tidak hanya diukur dari kehadiran pemilih di TPS. Partisipasi pemilih dikatakan tinggi jika melahirkan gerakan sukarela dari warga masyarakat yang mampu melahirkan profil pemimpin yang berkualitas dan disukai pemilih.
Jika indikatornya semacam itu, maka menurut pengamatan saya, partisipasi pemilih di perkotaan, terutama di Surabaya sudah cukup bagus.
Simulasi Pemungutan dan Penghitungan Suara, 8 November 2015
Memang, kadang partisipasi berbanding terbalik dengan mobilitas. Yang datang ke TPS bisa jadi tidak banyak, namun mampu melahirkan pemimpin yang profilnya mendekati harapan pemilih. Demikian pula sebaliknya, angka kehadiran pemilih di TPS tinggi, namun pemimpin yang dihasilkan ternyata kurang sesuai dengan harapan masyarakat.
inilah kekhawatiran dari demokrasi yang dibajak oleh penguasaan materi untuk mobilisasi.
Secara umum, bagaimana antusiasme warga Surabaya terhadap pelaksanaan Pilwali Surabaya 2015?
Jika indikator dari antusiasme adalah partisipasi, maka kita bisa melihat hasil Pilwali 2015 lalu. Beberapa media menyebutkan, pasangan Risma-Whisnu menang di hampir semua TPS kecuali dua TPS di Dolly. Inilah bentuk antusiasme warga Surabaya. Partisipasi yang susah untuk dibajak. Semacam ini tidak akan muncul di daerah yang pemilihnya dimobilisasi.
Sudah saatnya kita merubah paradigma, partisipasi pemilih tidak hanya diukur secara kuantitas. Partisipasi pemilih juga harus dilihat, bagaimana pemilu menghasilkan pemimpin yang berkualitas.
Pada Pilwali Surabaya 2015, apakah pemilih di Surabaya sudah berpartisipasi secara aktif dalam setiap tahapan penyelenggaraan atau hanya aktif dalam artian menggunakan hak pilih di TPS?
Dari beberapa sosialisasi yang dilakukan KPU Surabaya melalui media, tampak antusiasme yang besar dari masyarakat. Setiap kali ada talkshow yang membahas Pilwali Surabaya, selalu mendapat sambutan yang besar. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya umpan balik berupa telepon pertanyaan maupun komentar secara live saat talkshow. Bahkan, saya pernah melihat talkshow dimana pemirsanya menelepon dan meminta agar alat peraga kampanye dipasang sampai ke RT RW, tidak hanya di kelurahan. Padahal KPU Surabaya sendiri memang dibatasi oleh peraturan mengenai pembatasan alat peraga kampanye.
Lantas, apa saja faktor yang mempengaruhi kurang optimalnya partisipasi masyarakat Surabaya pada Pilwali 2015?
Sekali lagi, partisipasi pemilih bukan sekedar datang ke TPS. Kalau cuma datang ke TPS, yang terjadi seringkali justru mobilisasi. Namun, tetap harus diteliti penyebab kurangnya angka kehadiran pemilih di TPS. Saya melihat masyarakat Surabaya menganggap Pemilu sebagai liburan. Sehingga, ketika hari pemungutan suara menjadi hari yang diliburkan, yang ramai bukan TPS malah mall dan tempat hiburan keluaga. Mungkin perlu ditambah TPS keliling di mall dan tempat hiburan keluarga . Sehingga mereka bisa menggunakan hak pilih sambil memanfaatkan hari libur. Di sisi lain, masyarakat memang masih perlu ditingkatkan kesadarannya mengenai pentingnya partisipasi pemilih dalam melahirkan pemimpin yang berkualitas.
Apakah program dan kegiatan sosialisasi yang dilaksanakan KPU Surabaya saat pilwali 2015 sudah cukup menyentuh masyarakat?
Jika yang dimaksud sosialisasi adalah bagaimana KPU Surabaya memberikan informasi mengenai hari, tanggal pemilihan dan tata cara menggunakan hak pilih, rasanya sudah cukup.
Namun, jika sosialisasi mencakup pendidikan pemilih yang meliputi bagaimana melihat karakter pemimpin yang baik, hak dan kewajiban warga negara, maupun rekam jejak calon pemimpin, hal ini memang masih kurang.
KPU mungkin merasa riskan untuk melakukan pendidikan pemilih semacam ini. Jika demikian, KPU dapat menggandeng akademisi untuk memfasilitasi pendidikan pemilih.
Masukan bagi KPU Surabaya terutama untuk kegiatan peningkatan partisipasi masyarakat pada Pemilu dan Pemilihan berikutnya?
KPU Surabaya perlu menambah pengetahuan dan wawasan mengenai kecenderungan karakter masyarakat urban. Bisa juga menggandeng peneliti untuk membantu mengetahui karakter masyarakat urban dan bentuk sosialisasi yang paling tepat untuk mereka. Sehingga, partisipasi pemilih dalam pemilu dapat meningkat.