
MENGAIS KESEIMBANGAN HIDUP DENGAN RAMADHON
Oleh: Nur Syamsi S. Pd
Komisioner KPU Surabaya Divisi Sosialisasi, Pendidikan Pemilih, dan Pengembangan Informasi
Mengais, pilihan kata ini lebih melihat bahwa kata mengais sering dimaknai mendapatkan puing-puing, mendapatkan barang sisa, mendapatkan barang yang tidak diinginkan orang lain. Banyak padanan kata lain yang bisa disematkan untuk mengawali tulisan ini, tetapi saya merasa kata yang paling pas dalam konteks kekinian adalah kata mengais.
Sebagai umat yang dihadirkan di akhir zaman, terlebih berbagai godaan yang tidak sesuai dengan norma-norma agama membanjiri lingkungan dimana kita berinteraksi, sehingga sangat dimungkinkan mengurangi kekhusu’an kita dalam menjalani ibadah puasa. Dengan logika kemanusiaan, jika nilai kekhusu’an terkurangi bisa jadi nilai ibadah juga berkurang sehingga nilai kebaikan yang didapat tinggal sisa-sisa, tinggal puing-puing. Kenapa logika manusia, karena besar kecilnya pahala puasa seorang hamba hanya Alloh yang punya hak prerogatif.
Keseimbangan hidup, dalam berbagai ayat Al-Qur’an Alloh menginstruksikan kepada setiap hamba-Nya agar dalam menjalani kehidupan ini berimbang. Berimbang antara kebaikan untuk dunia dan akhirat. Bahkan di setiap akhir sholat yang dilakukan, seorang muslim dengan tanpa malu selalu meminta kepada Alloh agar memberi kebaikan dunia dan kebaikan akhirat. “Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia, juga kebaikan di akhirat. Dan peliharalah kami dari siksa neraka“. (QS. Al Baqoroh: 201). Sekalipun kedua kebaikan yang diminta oleh manusia merupakan perintah Alloh, sebagaimana tersebut dalam Surat Al-Qhasas: 77, Alloh berfirman “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Alloh kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagiamu dari kenikmatan dunia. Dan berbuat baiklah kepada orang lain sebagaimana Alloh berbuat baik kepadamu…..“.
Dalam sebuah hadits nabi mengingatkan “bekerjalah untuk duniamu seakan hidup selamanya, dan beribadahlah untuk akhiratmu seakan mati besok“(Riwayat Imam Baihaqi). Dan dalam hadits yang lain Nabi bersabda, Dari Anas RA, bahwasannya Rasulullah Saw. telah bersabda, “Bukanlah yang terbaik diantara kamu orang yang meninggalkan urusan dunianya karena (mengejar) urusan akhiratnya, dan bukan pula (orang yang terbaik) orang yang meninggalkan akhiratnya karena mengejar urusan dunianya, sehingga ia memperoleh kedua-duanya, karena dunia itu adalah (perantara) yang menyampaikan ke akhirat, dan janganlah kamu menjadi beban orang lain.”
Hampir semua ulama sependapat bahwa hadits ini membicarakan tentang pentingnya hidup secara berimbang. Bahwa kehidupan dunia ini bagi seorang mukmin memang hanya sesaat dan hanya menjadi tempat singgah sementara dalam rangka mengais bekal kehidupan akhirat. Tetapi karena kehidupan seorang mukmin di dunia harus juga bermartabat secara sosial ekonomi. Bahkan beberapa ibadah seperti zakat dan haji mustahil bisa dikerjakan tanpa kemapanan ekomomi.
Begitu pula sebaliknya, karena prinsip keseimbangan maka kesibukan dan kemapanan duniawi hendaknya tidak membuat jarak antara manusia dengan Khaliqnya. Tingginya jabatan dan besarnya kekuasaan, harus betul-betul termanfaatkan demi kemaslahatan umat. Banyaknya harta semestinya mampu menjadi penopang perjuangan mengais kebaikan dengan sesama.
Kenapa harus dengan puasa, bagaimana dengan sholat, zakat dan haji?.
Jika seorang muslim melakukan shalat, maka ia harus meninggalkan urusan-urusan dunia. Ia harus fokus penuh dengan shalatnya. Begitu pula saat melakukan haji dan zakat, sekalipun saat menunaikan zakat tidak membutuhkan waktu lama meninggalkan urusan dunia bahkan sangat singkat. Tidak hendak mengatakan bahwa shalat, zakat dan haji mengganggu urusan keduniaan, tetapi dari dimensi waktu pelaksanaan puasa memiliki perbedaan. Ibadah yang satu ini sejak fajar sampai waktu berbuka (seorang mukmin yang memang secara syar’i wajib melaksanakan), tidak harus berhenti/membatalkan puasanya demi melaksanakan ibadah yang lain. Bahkan tidak harus membatalkan puasa tatkala seorang mukmin sedang mengais keutamaan dunia apapun profesinya dan dimanapun adanya. Semuanya tetap bisa dilakukan secara bersamaan, seiring seorang mukmin tetap menjalankan puasa. Keseimbangan inilah yang dijaga oleh puasa.
Dari dimensi makna. Pertama, puasa memberi pelajaran berharga bagaimana rasanya menjadi seorang yang sedang mengalami lapar dan dahaga. Lapar dan dahaga seharian penuh inilah yang memberi stimulasi, jika ada bagian mukmin lain yang sedang kekurangan materi jangan berat tangan dan hati untuk memberi zakat, infak maupun shodaqoh. Kedua, dalam posisi lapar dan dahaga pada posisi puncak sedangkan waktu berbuka belum tiba, secara reflek pintu komunikasi antara qolbu mukmin dengan Tuhan-Nya terbuka. Ratapan hati akan kondisi lapar dan dahaga pasti tertuju kepada Tuhan-Nya karena waktu belum mengijinkan, dan kondisi ini bisa terjadi dalam waktu yang cukup lama sampai waktu berbuka tiba. Kondisi ini cukup melatih konsentrasi seorang mukmin dalam membangun komunikasi dengan Alloh. Ibadah sholat yang secara substansi adalah ibadah yang di dalamnya terdapat dialog/komunikasi langsung, wajib dilakukan dengan konsentrasi (khusu’). Dengan konsentrasi yang terlatih saat puasa Insya Alloh kekhusu’an sholat akan terjaga.
Sayangnya ibadah ini tidak mungkin bisa dijalankan oleh semua, muslim tetapi hanya bisa dijalani oleh orang-orang mukmin. Hanya orang mukmin-lah yang tetap bisa menjaga puasanya kecuali membatalkan puasa karena alasan syar’i.