
BIROKRASI NETRAL ATAU SEOLAH-OLAH NETRAL?
Komisioner KPU Surabaya Divisi SDM dan Partisipasi Masyarakat
Dalam konsep trias politica, tata kelola Negara dijalankan oleh tiga unsur penting yaitu eksekutif, legislatif dan yudikatif. Ketiga unsur ini harus bersinergi agar kebijakan-kebijakan yang ditujukan untuk pembangunan bis berjalan dengan baik, timpang salah satu unsur maka timpanglah tata kelola Negara ini.
Lalu dimana letak birokrasi diantara tiga unsur kenegaraan ini?. Jika birokrasi dimaknai sebagai badan atau organisasi pemerintahan yang melaksanakan layanan publik yang profesional, efektif, efisien, dan produktif, birokrasi harus melaksanakan kebijakan, program dan tugas sesuai aturan, cepat, tepat, mudah, murah, dan menghasilkan. Maka secara praktis, pada ketiga unsur trias politica terdapat fungsi birokrasi. Ketiganya bekerja atas nama pelayanan publik, menuntut kerja-kerja professional, efektif, dan produktif. Selain fungsi pokok, ketiganya juga melaksanakan kebijakan dan program baik ditujukan untuk penguatan kelembagan masing-masing institusi maupun untuk kebijakan dan program yang langsung bersentuhan dengan publik.
Jika birokrasi dimaknai dalam perspektif pemerintahan, adalah sebagai badan pemerintah yang melaksanakan fungsi-fungsi manajemen pemerintahan (perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, evaluasi, koordinasi, resolusi konflik, dll), penetapan kebijakan publik, bersikap netral dan profesional, melaksanakan etika birokrasi dan tata pemerintahan yang baik (transparansi, akuntabilitas, dan partispatif). Maka anggapan masyarakat pada umumnya yang meletakkan birokrasi berada padar anah eksekutif menjadi benar adanya karena sebagian besar kebijakan publik yang bersentuhan langsung dengan kehidupan masyarakat menjadi ranah eksekutif. Senyatanya berbagai kebijakan mulai dari harga gula sampai dengan tata kelola kuburan, lahir dan dieksekusi oleh lembaga ini. Sekalipun atas hak inisiatif yang dimiliki oleh lembaga legislatif kebijakan juga bisa dilahirkan.
Namun demikian, perumusan kebijakan publik bukan merupakan suatu proses yang sederhana dan mudah, karena terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi dan saling berkaitan dengan fungsi-fungsi lembaga lainnya. Sebagai contoh, dalam merumuskan undang-undang atau peraturan daerah, eksekutif harus meminta persetujuan lembaga legislatif. Secara kelembagaan, keterlibatan legislatif dalam merumuskan undang-undang akan menambah beban kepentingan baru selain kepentingan eksekutif itu sendiri. Secara personal, rumusan undang yang dihasilkan oleh eksekutif bisa dipastikan dipengaruhi oleh latar belakang dan persepektif berfikir subyek perumus, bahkan bisa jadi mengusung kepentingan tertentu. Ditambah dengan berbagai kepentingan individu legislator akibat keharusan persetujuan dari legislatif. Berbagai faktor yang berkepentingan dalam proses pengambilan kebijakan inilah yang menimbulkan tidak mudahnya sebuah kebijakan dihasilkan. Begitu juga ketika undang-undang itu lahir atas hak inisiatif legislatif, maka sinkronisasi dengan eksekutif juga harus dilakukan sebelum sebuah rumusan itu disahkan menjadi undang-undang.
Dimanakah letak netralitas birokrasi?
Dalam dinamika tata kelola negara yang begitu kompleks dengan berbagai persoalan yang menyertainya. Sebuah rumusan kebijakan publik bisa dikatan netral, tidak partisan dan berada di atas semua kepentingan adalah ketika konsep itu mencermikan keinginan, ide dan kepentingan subyek-subyek yang terlibat dalam pengambilan kebijakan. Sebagai contoh dalam proses lahirnya sebuah undang-undang keterlibatan perspektif berbagai pihak (eksekutif, legislatif, akademisi dan professional), menjadi vital untuk menjaga agar semua kepentingan bisa terwakili. Di sinilah letak netralitas undang-undang yang dihasilkan.
Dalam praktiknya, undang-undang yang dihasilkan ini kemudian dijabarkan dalam bentuk program aplikatif. Karena sifat undang-undang yang masih umum dan belum mengatur berbagai aturan teknis, maka lahirlah berbagai peraturan turunan dalam bentuk PP, PERDA, INPRES, Intruksi kepala daerah atau aturan-aturan lain yang tidak menyimpang dari aturan yang terdapat dalam undang-undang. Maka salah satu netralitas birokrasi terletak pada kewenangan eksekutif untuk menghasilkan peraturanyang merupakan turunan kebijakan teknis ini tetapi tetap dalam koridor aturan hukum yang bersifat netral tersebut.
Merujuk konsepsi birokrasi rasional oleh Max Webber, salah satu konsepsinya adalah setiap pejabat berada di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang dijalankan secara disiplin. Sistem yang dimaksud adalah berbagai perangkat pendukung dengan peraturan yang mengarahkan dan membatasi kewenangan subyek birokrasi. Maka netralitas birokrasi selain bertumpu pada ketaatan menjalankan perturan yang sudah ditetapkan untuk menjadi pijakan kerja juga lain terletak pada sistem pengawasan. Netralitas dan sistem yang mengaturnya inilah yang mengakibatkan birokrasi terlihat kaku dan prosedural dalam menjalankan fungsi pelayanan publik.
Mungkinkah birokrasi netral?
Senyatanya setiap penyusunan konsepsi kebijakan tidak mungkin mampu mewakili kepentingan semua lapisan dan kelompok masyarakat, sehingga sangat memungkinkan terdapat disparitas antara kebijakan yang dihasilkan dengan kepentingan beberapa kelompok tertentu. Begitu pula dalam proses pelaksanaan, eksekusi terhadap program seharusnya terhindar dari kepentingan tertentu, tetapi berbagai kepentingan kelompok yang ada di sekitarnya pasti akan berusaha mempengaruhi agar pelaksaan kebijakan itu menguntungkan dirinya atau kelompoknya.
Karena berbagai kepentingan yang berpotensi mempengaruhi inilah sehingga sebagian orang berpendapat tajam bahwa tidak ada birokasi yang netral atau hanya berusaha tampak seolah-olah netral.
Dalam rangka menjawab asumsi publik tentang birokrasi maka pemerintah dengan dengan berbagai perangkat pengaturan menyiapkan grand desain reformasi birokrasi yang bertujuan membentuk birokrasi yang profesional, dengan karakterisktik : adaptif, berintegritas, berkinerja tinggi, bersih dan bebas dari KKN, mampu melayani publik, a-politis, berdedikasi, dan memegang teguh nilia-nilai dasar dan kode etik aparatur negara.
Untuk mencapai tujuan grand desain reformasi birokrasi kemudian muncul desain wilayah reformasi yaitu organisasi, tata laksana, sumber daya manusia aparatur, peraturan perundang-undangan, pengawasan, akuntabilitas, pelayanan publik, dan budaya kerja aparatur. Rumusan ideal untuk melakukan sebuah upaya reformasi birokrasi, tetapi banyak menemui kendala dalam realitas praksis.
Dari tujuh (7) wilayah reformasi birokrasi, yang menjadi kunci reformasi adalah sumber daya manusia aparatur dan budaya kerja aparatur sebagai subyek birokrasi. Penanaman nilai-nilai tentang integritas dan moralitas dalam berbagai bentuk pelatihan menjadi mendesak dilakukan untuk menghadirkan subyek-subyek yang tangguh dalam birokrasi. Untuk mampu mengukur indikator kedua nilai ini memang tidak mudah, tetapi jika berpijak pada Undang-undang No 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, setidaknya integritas bisa diukur dari kejujuran, kepatuhan terhadap peraturan perundang-undanganan, kemampuan kerja sama, dan pengabdian kepada masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan moralitas subyek birokrasi bisa diukur dari penerapan dan pengamalan nilai etika agama, budaya dan sosial kemasyarakan.
Integritas dan moralitas merupakan indikasi yang bersifat dinamis dalam diri manusia. Agar keduanya bisa menjadi konstan maka dibutuhkan pembiasaan yang akan bermuara dalam bangunan budaya kerja. Dalam dinamisasi budaya kerja kelompok atau organisasi, Ki Hajar Dewantara mengajarkan “Ing Ngarso Sung Tuladha, Ing Madya Mangun Karsa, Tut Wuri Handayani”. Dalam konteks reformasi birokrasi, keteladanan seorang pemimpin dan kepatuhan bawahan dalam menjalankan pelayanan publik menjadi penting. Para bawahan akan selalu melihat dan mengamati, seberapa kuat pimpinannya dalam menginternalisasi nilai integritas dan moralitas dalam budaya kerjanya. Dalam konsep agama kemudian dikenal dengan “Uswatun Hasanah”. Contoh yang baik dalam berperilaku akan menjadi magnet yang luar biasa untuk mengajak bawahan dalam penegakan pengaturan dan perundangan yang berlaku.
Sumber daya manusia aparatur dengan integritas dan moralitas yang inheren dalam budaya kerja aparatur akan menjadi lokomotif menuju reformasi yang sesungguhnya.